WEWEWA BARAT, MENARASUMBA.COM – Riuh anak-anak yang berbaur dengan orang tua dan sejumlah anggota Team Fullers Properties masih ramai kendati waktu sudah beranjak malam.
Gedung berukuran tidak seberapa dengan tembok belum diplester, juga tanpa pintu jendela ini penuh sesak pada Selasa (30/01/2024) malam.
Pada malam perpisahan itu, sesekali pimpinan team Fullers Properties, Mr. Andy meneteskan air mata, tidak bisa menahan haru menyaksikan atraksi anak-anak dari berbagai usia yang seolah enggan ditinggal.

Suasana malam perpisahan anak-anak EGC dengan Team Fullers Properties yang diisi dengan pentas hiburan. ( Foto Menara Sumba )
“Besok mereka akan pulang ke Bali setelah lima hari berada di sini,” jelas Petrus Ngongo Bulu sang inisiator English Group of Course Sumba (EGC Sumba).
Team Fullers Properties yang terdiri dari sembilan orang ini berkunjung untuk bertatap muka langsung sekaligus berbagi kasih dengan anak-anak EGC Sumba.
Perusahaan properti yang eksis di Pulau Dewata, Bali ini punya sebuah proyek sosial yang dikenal dengan nama Heart of Kampung (Hati untuk Kampung).
Aksi sosial perusahaan properti milik pria berkebangsaan China asal Hongkong bernama asli Kun Chi Yung dan lebih akrab disapa Mr. Andy ini jadi donatur pertama yang mengulurkan tali kasih untuk anak-anak EGC Sumba.
Lembaga kursus yang diinisiasi Petrus Ngongo Bulu dan didirikan pada 17 Juli 2017 ini sempat vakum selama dua tahun saat COVID-19 mewabah di seantero dunia.

Inisiator dan pendiri EGC Sumba, Petrus Ngongo Bulu. ( Foto Istimewa )
“Awal mula menggagas komunitas belajar ini cuma iseng, karena saat itu saya baru saja meninggalkan biara,” kisah Petrus yang sempat mencapai jenjang Frater pada salah satu biara di Yogyakarta.
Peserta pertama EGC Sumba berjumlah 15 anak, mulai dari siswa SD, SMP, dan SMA yang berdomisili di Kampung Niri Wittu, Reda Kapala, Kalembu Kowo, Welli Wanno, Kapulota, Kawango Dana, dan Elomata di Desa Kabali Dana, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya.
Dalam rentang waktu perjalanan group kursus bahasa Inggris ini pesertanya pun kian bertambah, bahkan ada lima siswa yang berasal dari Camme, sebuah kampung lain yang jaraknya kurang lebih 6 km.
Petrus menuturkan, ide awal ini datang dari keprihatinannya ketika di sore hari ia melihat banyak anak tidak belajar, bahkan ada yang tidak pernah memegang buku.
“Selain itu saya juga merasa bahwa pendidikan bahasa Inggris sangat penting untuk dipelajari dan dikuasai oleh anak-anak di Sumba,” imbuhnya.

Peserta EGC Sumba pertama yang saat itu berstatus sebagai siswa PAUD bersama Victornikus Dapa Ngeda salah seorang pengajar pertama, foto diambil pada 23 Agustus 2017. ( Foto Menara Sumba )
Dengan potensi panorama alam dan pesona wisata budayanya, Sumba jadi incaran kunjungan turis asing karena termasuk salah destinasi wisata terbaik dunia.
“Saya ingin suatu saat nanti anak-anak ini menjadi pemandu turis atau bekerja di hotel karena mahir bahasa Inggris,” sebut pria muda beranak dua ini.
Bergelut dengan Berbagai Tantangan
Menggagas dan mengelola sebuah lembaga kursus di pelosok kampung bukanlah hal mudah baginya.
Ia mengalami begitu banyak tantangan dan persoalan, diantaranya dukungan orang tua dari anak-anak peserta kursus yang sangat rendah juga tidak pernah sekali pun mendapat perhatian pemerintah setempat.
Bekerja seorang diri dengan segala keterbatasan, dimana gedung belajar anak yang tidak memadai, tanpa kursi dan meja, papan tulis, apalagi alat peraga maupun sarana penunjang lain.

Pimpinan Team Fullers Properties, Mr. Andy saat berkunjung dan mendoakan salah seorang warga di Kampung Elomata yang jarakya tidak jauh dari kompleks EGC Sumba. ( Foto Istimewa )
“Bagi saya ini adalah masalah besar yang harus dihadapi dengan semangat dan penuh ketabahan,” tutur Petrus.
Pemahaman dangkal terlebih perbedaan pandangan politik kadang kala dibawa serta, dimana kemudian atas dasar berpikir ini orang tua melarang anaknya untuk ikut kegiatan di EGC Sumba.
Apalagi untuk saat ini ia sendiri yang menjadi pengasuh tanpa bantuan siapa pun, mengajar sendiri, berpikir sendiri, bekerja sendiri karena tidak ada dukungan finansial.
Ini yang membuatnya terkadang jadi sedih, karena hanya bermodal hati dan pengorbanan diri seutuhnya untuk melayani.
Ia berkisah, saat awal keberadaan EGC Sumba, respon orang tua dan masyarakat sangat baik yang dibuktikan dengan tekad dan dukungan membangun gedung belajar.

Kondisi gedung EGC Sumba pada saat awal dimana gambar ini diambil pada 23 Agustus 2017. ( Foto Menara Sumba )
“Namun semangat yang meletup di awal ini akhirnya tidak bertahan akibat situasi dan kondisi yang kurang bersahabat,” akunya.
Semangat orang tua kembali bergairah ketika terbetik kabar bahwa anak-anak EGC Sumba akan dikunjungi Tim Fullers Properties yang dipimpin langsung oleh Mr. Andy.
Dukungan ini juga sangat nampak dan dibuktikan dengan terbentuknya kepengurusan komite orang tua EGC Sumba yang makin membuat anak-anak kian semangat dan antusias.
Ia berterus terang, jika sepanjang keberadaan EGC Sumba, tidak sekali pun mendapat support dari donatur kendati harapan untuk itu selalu didaraskan.
”Mimpi saya baru terjawab, dimana Tuhan hadirkan keluarga besar Team Fullers Properties orang-orang baik yang mau berbagi kasih dengan kami di sini,” sebut Petrus.
Ke depan, ia berniat mengajak orang yang berkompeten untuk bekerja bersama, meski hal itu tidak bisa dipaksakan pula jika tidak ada yang merelakan diri untuk berbaur dalam misi sosial ini.
Mimpi besar tentang EGC Sumba terus dirawatnya dengan tekad bisa mencetak orang hebat, kreatif, inovatif, dan punya daya saing yang luar biasa.
“Saya ingin mereka fasih berbahasa Inggris walau berasal dari kampung dan pedalaman,” tandasnya. ( Julius Pira )























