WAIKABUBAK, MENARASUMBA.COM – Penanganan tindak pidana korupsi (tipikor) tetap jadi salah satu prioritas pihak kejaksaan.
Namun demikian, penanganan terhadap kasus yang sering membuat kepala desa tersandung hukum ini sudah berubah paradigma.
Penjelasan tersebut disampaikan Kepala Kejaksaan Negeri Sumba Barat, Agus Taufikurrahman, SH, MH saat tatap muka dengan awak media, Selasa (10/09/2024) lalu.
“Artinya, penanganan tetap, namun yang kita upayakan adalah pengembalian keuangan negara dan upaya pencegahan,” jelasnya.
Agus yang belum lama menjabat usai menggantikan Bintang Latinusa Yusvantare ini menyebut, jaksa memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, tapi harus berdasarkan laporan masyarakat terkait penyelewengan tersebut.
“Namun yang harus digarisbawahi, apa manfaatnya tahan pelaku tindak pidana korupsi jika tidak ada yang bisa diselamatkan, itu sama dengan bohong karena justru negara yang rugi,” katanya lebih lanjut.
Menurutnya, negara dirugikan karena biaya yang digelontorkan untuk penanganan perkara tidak sedikit jumlahnya.
Apalagi jika sudah divonis hakim, maka akan menambah daftar tahanan yang harus jadi tanggungan negara selama mendekam di lembaga pemasyarakatan.
“Dimana letak ruginya? Dia makan tiga kali sehari di LP uang negara dipakai, sementara dari penanganan APH sendiri tidak ada uang negara yang diselamatkan,” timpalnya.
Dengan fenomena ini penanganan perkara diubah paradigmanya dengan titik berat pada pencegahan.
“Habis itu kita upayakan pengembalian kerugian, jika tidak bisa, baru kita proses,” terang Agus.
Di kejaksaan sendiri saat ini, katanya lebih lanjut, ada program pendampingan dana desa, yang akan dilakukan jika ada permintaan.
Pihaknya mengaku banyak terjadi penyimpangan sehingga ada program pendampingan dana desa oleh kejaksaan.
Namun penanganannya hanya dapat dilakukan jika ada laporan dari masyarakat.
“Karena itu kita ada program jaga desa, yang nanti akan mereview kembali bagaimana pertanggungjawaban pengelolaan dana tersebut,” tutur Agus.
Ketika nanti ditemukan ada penyimpangan, maka akan diminta untuk dikembalikan kerugian negara tersebut.
Penanganan korupsi seperti di Sumba, butuh biaya yang luar biasa besar jumlahnya.
“Teman-teman yang sidang itu kan minimal dua orang, harus hadir satu hari sebelumnya dan tentunya ke Kupang pakai pesawat,” jelasnya lagi.
Hal inilah yang membuat biaya penanganan perkara korupsi seperti penyelewengan dana desa jadi mahal melebihi jumlah yang dikorupsi.
Ia mencontohkan salah satu perkara korupsi dana desa yang pernaha ditanganinya di Jawa Timur.
Kerugian yang ditimbulkan dari penyelewengan dana desa itu cuma 90 juta.
Ketika dikalkulasi dengan total biaya persidangan, jumlahnya mencapai 150 juta.
“Berarti yang merugikan keuangan negara siapa di sini? Justru pihak kejaksaan sebagai penyidik,” tandasnya. ( JIP/MS )





































