WEWEWA BARAT, MENARASUMBA.COM – Belum seminggu diresmikan oleh Wakil Bupati SBD, Marthen Christian Taka, SIP namun geliat Pasar Desa Laga Lete di Kecamatan Wewewa Barat sudah terlihat.
Pasar yang keberadaannya sudah digagas sejak tahun 2019 ini, baru nyata hadir di tahun 2023 dan diresmikan pada Rabu (25/10/2023) lalu.
“Ide ini digagas pada tahun 2019 lalu namun sayang ketika itu wabah corona virus sudah mulai muncul sehingga baru pada tahun ini terealisasi,” papar Kepala Desa Laga Lete, Bernardus Bulu Malo, Minggu (29/10/2023).
Kepala Desa Laga Lete, Bernardus Bulu Malo. ( Foto Menara Sumba )
Mencuatnya keinginan ini bukan tanpa alasan kuat, atau semata menggelinding begitu saja sekedar untuk cari sensasi dan perhatian.
Semua itu direncanakan matang dan dielaborasi lewat kajian berulangkali setelah melihat betapa potensi dukungan wilayah sekitarnya juga demikian besar.
“Kalau dilihat jarak pasar yang berlokasi di Waimangura terhadap 20 desa di Wewewa Barat sudah kurang ideal dengan perkembangan yang ada,” katanya memberi alasan.
Pasar Waimangura yang konon telah ada sejak zaman Belanda masih berkuasa, sebut Bernardus, sampai hari ini tidak menampakkan perkembangan yang baik.
Dasar pemikiran ini pula yang melandasi niat membangun pasar itu kian menancap kuat dalam benak sang kades yang sudah puluhan tahun malang melintang mengurus kelompok tani di Tanah Ngada, Flores.
Bangunan Kedai Kopi Laga Lete yang jadi salah satu daya tarik utama di pasar desa ini. ( Foto Menara Sumba )
“Bagaimana masyarakat memasarkan hasil usahanya, baik itu pertanian, perkebunan, peternakan tentu harus ada pasar. Ini juga bagian dari mendekatkan pelayanan untuk rakyat,” sambungnya.
Diharapkan, pasar ini makin menggeliatkan ekonomi warga setempat, dan bagi desa, ke depannya bisa membuahkan Pendapatan Asli Desa (PAD) yang menopang pembangunan di Laga Lete.
Ia mengatakan, yang harus dicamkan oleh warga desa adalah bagaimana menciptakan suasana aman, karena ada pula pedagang dari Waikabubak dan Waitabula yang datang menjual berbagai macam barang kebutuhan.
“Hari Jumat kemarin seorang ibu penjual ikan kering asal Waikabubak berhasil mengantongi satu juta lebih. Saya sempat tanya dan ia mengaku sangat senang karena jualannya laris padahal pasar ini baru beroperasi dan lokasinya pun di pelosok,” kisah Bernardus.
Meski tidak begitu luas, pasar ini tertata apik dengan sebuah bangunan los dan satu kedai kopi, juga dilengkapi fasilitas toilet umum terpisah untuk pria dan wanita.
Ada lorong untuk parkir dan lalu lalang kendaraan sehingga pedagang tidak bersusah payah mengangkat barang, tinggal menepikan kendaraan di pinggir lapak lalu menurunkan dagangannya.
Bangunan los parmanen di tengah pasar yang diperuntukkan bagi pedagang pakaian dan perabot rumah tangga. ( Foto Menara Sumba )
Saat ini, selain sebuah los bangunan parmanen dan kedai kopi, sudah ada lebih dari seratus lapak milik warga yang dibangun secara swadaya.
“Kami juga sudah mengatur agar masing-masing jenis dagangan menyatu di sebuah tempat dan tidak campur baur. Ada tempat khusus untuk pedagang sembako, sayuran, ikan, pakaian, maupun yang berjualan makanan dan minuman,” katanya lebih lanjut.
Kendati sudah menampakkan geliatnya, retribusi pasar ini belum diberlakukan karena masih menunggu dasar hukum yang jelas agar tidak ada kesan pungutan liar.
Ia menyebut, pemerintah desa tidak langsung ambil sikap membuat peraturan desa (perdes) semaunya sendiri.
“Kami akan bangun kerja sama dengan instansi Pemda yang membidangi pendapatan daerah, agar Perdes itu selaras dengan Perda. Sehingga dalam pelaksanaannya tidak keluar dari keinginan bersama,” tandas Bernardus.
Pasar Desa Laga Lete juga dilengkapi sarana toilet terpisah untuk pria dan wanita. ( Foto Menara Sumba )
Pihaknya masih memberlakukan masa percobaan selama dua bulan sambil menanti adanya aturan yang lebih baik untuk keberlangsungan pelayanan di pasar sehingga bisa tampil beda dengan pasar-pasar yang lain.
Kedai kopi yang juga dikelola oleh Bumdes jadi salah satu primadona usaha yang digelar di pasar ini, karena khusus menyajikan hidangan kopi Laga Lete yang sudah terkenal dan hasil budi daya warga setempat.
Pasar ini diharapkan bisa jadi tempat transaksi jual beli berbagai hasil bumi rakyat, termasuk barang kebutuhan lain yang didatangkan dari luar.
“Apa saja hasil pertanian dan peternakan bisa diperdagangkan, kecuali barang terlarang yang tidak boleh dijual di Pasar Laga Lete,” pungkasnya menutup bincang sore itu. ( Julius Pira )