TAMBOLAKA, MENARASUMBA.COM – Sejumlah problem penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak mengemuka dalam dialog bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Dalam sosialisasi bertajuk Kewenangan LPSK dalam Kerangka UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Hotel Sima, Tambolaka, Selasa (11/07/2023) ini terungkap berbagai perihal yang disampaikan peserta.
Kegiatan ini dihadiri berbagai perwakilan dari unsur pemerintah, institusi penegak hukum, LSM, tokoh masyarakat, praktisi hukum, juga pegiat media dari kabupaten SBD, Sumba Barat, dan Sumba Tengah.
Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan dan Pembangunan Setda Kabupaten SBD, Drs. Dominggus Bulla, M.Si saat memberikan sambutan mewakili bupati SBD. (Foto Menara Sumba)
Paulus Dwiyaminarta, salah satu pegiat HAM yang berkecimpung di bidang advokasi hukum mengungkap adanya trauma korban jika berhadapan dengan aparat penegak hukum (APH) berseragam dinas dan berpistol.
Dari pengalamannya di LBH Sarnelli ketika mendampingi korban kekerasan, ia menyebut jika ketakutan muncul saat melihat petugas dengan segala atribut dinasnya.
“Ini salah satu soal yang membuat korban tidak berani karena dibayangi rasa takut jika harus berhadapan dengan petugas berseragam polisi misalnya,” tutur Paulus.
Hal traumatik lain adalah ketika korban dikonfrontir langsung dengan pelaku saat penanganan kasus oleh pihak berwajib.
Secara psikologis, kondisi ini memberi peluang negosiasi karena ada pressure kejiwaan bagi korban maupun keluarga sehingga memilih jalan damai dalam menyelesaikan tindak pidana tersebut.
“Pada akhirnya banyak kasus diselesaikan dengan cara berdamai karena korban sendiri tidak berdaya menghadapi tekanan psikologi tersebut,” sebutnya.
Tarik ulur dalam penanganan kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak juga diungkapkan salah seorang tokoh masyarakat Sumba Tengah.
Penanganan kasus harus berhenti di tengah jalan tatkala negosiasi adat sudah dilakukan dengan gencar dan kemudian korban sendiri menarik laporan pengaduan yang sudah dilayangkan.
“Banyak kali terjadi hal seperti ini dan jadi benang kusut dalam penuntasan tindak pidana kekerasan khususnya terhadap perempuan karena masih kuatnya pengaruh budaya,” paparnya.
Sementara itu Kanit PPA Polres SBD, AIPTU Hendra S. Malo mengutarakan terbatasnya sumber daya personil yang bertugas menangani persoalan hukum di institusi kepolisian.
Kondisi ini tidak berbanding lurus dengan luas wilayah serta topografi alam yang menjadi salah satu hambatan dalam penanganan berbagai kasus tindak kekerasan.
“Petugas di unit PPA hanya ada 3 orang yang semuanya adalah pria tanpa seorang pun anggota polisi wanita,” papar Hendra.
Kesulitan lain adalah tidak tersedianya tenaga psikolog yang semestinya harus mendampingi korban tindak kekerasan ini.
Faktor kemampuan finansial korban juga jadi masalah yang tidak kalah rumitnya saat hendak dilakukan pemeriksaan keterangan.
“Kadangkala ketika dipanggil ke kantor untuk memberikan keterangan, korban maupun saksi terkendala biaya transport,” tambahnya.
Hendra juga memberi apresiasi serta mengakui jika kehadiran LBH Sarnelli dan Yayasan Donders sangat meringankan tugas unit PPA Polres SBD dalam penanganan perkara.
Dua lembaga ini demikian aktif mendampingi serta memberi advokasi bagi korban maupun saksi sehingga proses beberapa perkara diantaranya bisa tuntas.
“Dua lembaga ini sangat membantu kami, salah satunya dengan menghadirkan korban maupun saksi yang tidak memiliki kemampuan finansial,” akunya. ( JIP/MS )