JAKARTA, MENARASUMBA.COM – Efisiensi anggaran yang diterapkan Presiden Prabowo Subianto paling banyak menyasar Kementerian PU.
Tidak tanggung-tanggung anggaran tahun 2025 yang sudah ditetapkan sebesar Rp 110,95 triliun harus dipotong sebanyak Rp 81 triliun.

Dosen Tata Kota Universitas Tri Sakti, Nirwono Joga menyebut, pemotongan ini bisa menimbulkan persoalan.
“Jika kemudian keputusan pemangkasan anggaran tetap dilakukan, sebaiknya Menteri PU Dody Hanggodo membuat disclaimer,” ujarnya, Selasa (04/02/2025) seperti dikutip dari laman tempo.co.
Ia mengatakan, Menteri Pekerjaan Umum harus menyampaikan kepada presiden risiko yang bakal timbul akibat pemangkasan anggaran tersebut.
Misalnya, bahwa masyarakat tidak bisa berharap banyak pada Kementerian Pekerjaan Umum terkait pembangunan infrastruktur.
“Bendera putihnya dikibarkan lebih dulu. Kalau tidak, Kementerian PU bakal jadi pihak yang disalahkan ketika program-program tidak tercapai,” sebutnya.
Hal ini bertujuan agar di kemudian hari tidak jadi pembelaan dan alasan ketika timbul masalah.
Demikian halnya, kepala negara harus tahu jika pemangkasan anggaran akan mempersulit peran Kementerian PU dalam membantu mewujudkan swasembada pangan dan energi.
Presiden Prabowo telah menginstruksikan efisiensi APBN dan APBD melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2025 dimana Kementerian PU diminta efisiensi Rp 81 triliun, sehingga anggaran tersisa Rp 29 triliun saja tahun ini.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto juga mengatakan bakal menyerahkan pembangunan infrastruktur ke pihak swasta.
Namun, menurutnya, hal itu tidak akan semudah membalik telapak tangan karena pihak swasta akan memperhitungkan keuntungan yang cepat.
“Karena pada dasarnya setiap program terikat oleh satu periode pemerintahan. Kemudian karena swasta memperhitungkan keuntungan yang cepat, mereka akan pilih-pilih proyek infrastruktur,” tambahnya.
Dampaknya, bakal menjadi catatan tersendiri dari sisi pemerataan.
“Contohnya, disuruh milih membangun tol di Jawa atau Kalimantan, pasti milihnya di Jawa,” kata dia.
Nirwono juga menambahkan, sangat sulit bagi swasta untuk mau berinvestasi pada proyek bendungan.
Hal ini karena bendungan biassanya dibangun di daerah yang jauh dari pusat perkotaan.
“Secara teknis, ini tidak mendatangkan keuntungan dalam lima tahun,” ujarnya.
Padahal, pembangunan bendungan menjadi kebutuhan seiring target pemerintah mencapai swasembada pangan dan energi.
Apalagi, jumlah bendungan di Indonesia terhitung jauh lebih sedikit dibanding negara lain seperti Cina.
“Sektor swasta yang akan masuk ke infrastruktur tidak akan sebanyak yang dibayangkan Presiden. Itu tidak akan terjadi,” ucapnya.
“Jadi, pembangunan infrastruktur dalam setahun, bahkan lima tahun ke depan, bukan hanya bisa melandai tetapi turun,” katanya lagi
Oleh karena itu, ia mengatakan pemangkasan anggaran besar-besaran di Kementerian Pekerjaan Umum perlu diperhitungkan kembali. ( KOP/MS )












