JAKARTA, MENARASUMBA.COM – Tata kelola di perairan selatan Indonesia (Pulau Rote di NTT) dan Pulau Pasir atau Ashmore and Cartier Islands yang sudah jelas dinyatakan Kemenlu RI sebagai wilayah teritorial Australia bisa menjadi bom waktu.
Kepada media ini, Kamis (27/06/2024), penasehat Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Perdagangan Orang dan Penyelundupan Manusia (Koalisi) sekaligus penasehat PADMA Indonesia, Gabriel Goa menyatakan pihaknya tidak mau masuk wilayah ‘hukum internasional’ untuk isu Pulau Pasir ini.
“Karena sudah disebutkan Kemlu RI bahwa dalam Deklarasi Juanda 1957 dan juga diundangkan melalui UU No 4 Tahun 1960 menyatakan bahwa Pulau Pasir tidak masuk dalam wilayah atau peta NKRI semenjak tahun 1957, serta pada peta-peta yang dibuat sesudah periode tahun tersebut,” jelasnya.
Ditambah lagi menurut Kemlu RI ada Memorandum of Understanding (MoU) 1974 dan MoU perbaruan antara Indonesia Australia di tahun 1981 dan tahun 1989.
Gabriel mengatakan, MoU ini mengatur bahwa nelayan tradisional NTT boleh mencari ikan bahkan teripang secara tradisional di kawasan Pulau Pasir.
Pihaknya justru khawatir atas maraknya lalu lintas kapal dengan ABK dan kapal-kapal nelayan melewati laut perbatasan dan sampai ke kawasan Australia.
“Lihat saja tanggal 26 Juni 2024 ada berita pemerintah Australia-Darwin telah menangkap dan menahan 2 kapal nelayan asal Merauke, Papua Selatan sekaligus bersama 15 ABK,” sebutnya.
Lebih lanjut Gabriel mengatakan, pastinya ada masalah pelanggaran hukum atas aktivitas yang dianggap ilegal dilakukan oleh para nelayan tersebut.
Koalisi juga banyak mendapat laporan dari jaringannya yang ada di NTT bahwa masih banyak nelayan Indonesia melewati batas kelautan tersebut entah untuk mencari ikan atau teripang.
“Atau kasus-kasus nelayan yang polos tersebut membawa orang-orang dari negara di luar Indonesia dengan tujuan akhir ke Australia,” tambahnya.
Gabriel menjelaskan, beberapa nelayan Indonesia membawa imigran gelap dengan dari negara-negara yang sedang konflik dimana mereka sendiri dipersekusi,
“Kemudian sudah masuk laut teritori Australia malah sekarang langsung dipulangkan oleh Australia dan dibiarkan untuk diadili oleh pengadilan di Indonesia,” tandas Gabriel.
Hal senada disampaikan ahli hukum internasional, Nukila Evanty yang juga anggota koalisi tersebut.
Ia menegaskan, adalah hal kompleks mengurai masalah nelayan Indonesia yang memenuhi permintaan orang-orang untuk dibawa dengan kapal nelayan ke Australia.
“Katakanlah ada sindikat/recruiters, terus meminjam perahu nelayan berikut jasanya untuk menyeberangkan orang-orang yang belum diketahui pula oleh si nelayan tentang asal dan identitas mereka,” tuturnya.
Dengan keterbatasan informasi yang dimiliki sang nelayan, dia mau untuk membawa orang -orang tersebut ke Australia.
Nukila menambahkan, ketika memasuki wilayah laut Australia maka dalam hukum internasional ada klausul yang menyebut “sovereignty of a coastal State extends, beyond its land territory and internal waters. The sovereignty over the territorial sea is exercised with also other rules of international law.Territorial waters, in international law, that area of the sea immediately adjacent to the shores of a state and subject to the territorial jurisdiction of that state.
“Jadi artinya kira-kira, saat sudah masuk wilayah Australia para nelayan harus diadili dengan hukum yang berlaku di Australia, bukan dideportasi ke Indonesia atau mengurai soal pelaku kejahatan yang meminta sang nelayan membawa orang -orang yang ingin dismuggling ke Australia,” imbuhnya.
Secara terpisah, Greg Retas Daeng, SH, selaku koordinator di Koalisi ini menyebut, Indonesia punya UU No 6 Tahun 2011 yang mana di dalam pasal 120 mengatur mengenai kejahatan penyelundupan imigran.
Menurut Greg, UU Keimigrasian juga belum jelas delictnya karena lebih hanya mengatur penyelundupan orang -orang ke Indonesia.
Kalau nelayan menyelundupkan orang asing ke Australia, aturan ini belum cukup, malah nelayan tersebut sebenarnya adalah korban, ujar Greg.
Mereka juga perlu diberikan edukasi tentang apa itu people smuggling, batas wilayah laut kedua negara termasuk MoU Indonesia Australia.
Dari sisi pemerintah, kedua negara perlu ada tindakan kerja sama termasuk dengan masyarakat sipil.
Ke depan, sebut dia lebih lannut, perlu dilakukan diskusi panjang untuk membahas masalah ini.
“Sebagai orang NTT dan juga anak bangsa, saya menyayangkan jika masih banyak orang yang seharusnya korban justru dianggap pelaku kejahatan,” pungkasnya. ( TAP/MS )





























