Sosial Budaya

1000 Lebih Undangan Hadir, Seremonial Pengatapan Rumah Suku Katoda Lobo Berlangsung Meriah

×

1000 Lebih Undangan Hadir, Seremonial Pengatapan Rumah Suku Katoda Lobo Berlangsung Meriah

Share this article

WWEWEWA BARAT, MENARASUMBA.COM – Seremonial pengatapan rumah suku Katoda Lobo di Desa Persiapan Wano Kasa, Kecamatan Wewewa Barat berlangsung meriah.

Kegiatan adat yang berlangsung pada Sabtu (09/11/2024) di Kampung Wee Peddi tersebut dihadiri seribu lebih undangan.

Pembangunan rumah besar yang diinisiasi tujuh bersaudara ini didahului dengan acara “Kako Male” yang berlangsung sejak Jumat (08/11/2024) sore.

Menurut Melkianus Bora Malo, salah seorang dari ketujuh bersaudara tersebut, niat untuk membangun rumah ini sudah lama tercetus.

Rumah besar suku Katoda Lobo yang kini sudah berbentuk modern. ( Foto Menara Sumba )

“Ada kerinduan kami tujuh bersaudara untuk membangun rumah besar ini, meskipun saya sendiri bekerja dan menetap di Jakarta,” ungkapnya.

Ia berkisah ide pembangunan rumah adat itu dicetuskan pada tahun 2016 silam.

Kala itu ketujuh bersaudara bermufakat, dimana kebetulan ia sendiri pun datang dari Jakarta menghadiri sebuah hajatan keluarga.

Ia turut ambil bagian bersumbangsih dan kemudian juga hadir dengan partisipasi pada hajatan pengatapan rumah.

Pria beranak tiga yang beristri asal Mamboro, Kabupaten Sumba Tengah ini mengaku sangat patuh pada kesepakatan adat.

“Siapa pun saudara, harus hadir, karena ini acara peresmian. Kalau kita tidak hadir mungkin nanti bisa kena musibah karena rumah kami keramat,” aku karyawan salah satu pabrik air mineral di Lebak Bulus, Jakarta ini.

Tujuh bersaudara pose bersama saat acara “Kako Male” pada Jumat (08/11/2024) malam. ( Foto Menara Sumba )

Secara terpisah, Paulus Ngongo Malo anak sulung dari tujuh bersaudara ini menjelaskan, pembangunan rumah itu bagian dari merawat tradisi dan eksistensi keluarga besar suku Katoda Lobo.

“Sepeninggal orang tua, termasuk saudara dari ayah kami rumah besar tidak sempat dipugar hingga akhirnya dibongkar karena sudah tidak layak lagi untuk dihuni,” kenangnya.

Saat itu rumah masih asli beratap alang dengan menara tinggi dibongkar, dan dibangun pondok kecil tepat di belakang tempat rumah itu berdiri.

Kendati saat meninggal sang ayah tidak berpesan apa pun terkait pembangunan rumah besar suku tersebut, namun secara moril ketujuh bersaudara ini merasa terbebani.

“Kami punya rencana, apalagi saya sendiri ya, bagaimana caranya rumah ini bisa dibangun kembali karena merupakan identitas keberadaan dan eksistensi suku kami,” terang Paulus.

Maklum, Katoda Lobo adalah salah satu dari tujuh suku yang menyebar dan eksis di wilayah Wano Kasa.

Paulus Ngongo Malo, anak sulung dalam keluarga. ( Foto Menara Sumba )

Enam suku lain adalah Wee Lewo, Wee Byaka, Lewata, Wone, Umbu Degu, dan Kabonu.

Sulit Bahan Baku Asli Rumah pun Beralih Model

Mengingat makin sulit memperoleh bahan-bahan asli untuk pembangunan rumah adat maka mereka sekeluarga pun bersepakat menggunakan bahan bangunan modern

“Sulit cari alang untuk atap rumah, termasuk kayu untuk tiang rumah yang juga tidak mudah didapatkan,” ujarnya beralasan.

Maka kemudian jadilah pembangunan rumah yang diawali dengan pembuatan pondasi di tahun 2018.

Rumah ini berubah bentuk dari model panggung berbahan kayu, bambu, beratap alang tanpa paku karena pengikat kokoh hanya gunakan berbagai jenis tali temali.

Agar praktis dan tahan lama, diganti dengan rumah tembok berbahan semen, pasir, batu, paku, dan seng.

“Yang tidak berubah adalah posisi dan arah rumah, tetap seperti saat awal kakek kami dirikan,” urainya lagi.

Suasana penyambutan tamu yang datang membawa kerbau. ( Foto Menara Sumba )

Konon, kata Paulus lagi, sesuai kisah yang dituturkan kakeknya, Wee Peddi adalah kampung besar dari kabisu/suku Katoda Lobo.

Berada di pelataran subur Raba Ege tepat di bawah kaki Gunung Yawila, suku Katoda Lobo eksis turun temurun hingga saat ini.

Seremonial pengatapan rumah siang itu berlangsung sangat meriah menghadirkan undangan dari berbagai tempat.

Ada yang datang jauh dari Waingapu (Sumba Timur), Mamboro (Sumba Tengah), Sumba Barat membawa beragam jenis ternak seperti kerbau, sapi, dan babi pada puncak hajatan tersebut.

“Kalau di SBD sendiri ada yang berasal dari Kodi, Bukambero, Loura, dan Wewewa,” katanya lebih lanjut.

Bahkan, kemeriahan sudah dimulai sehari sebelumnya dalam acara “Kalo Male” yang jika diartikan lurus sama dengan jalan malam.

Pembagian daging kerbau di halaman rumah usai hujan reda. ( Foto Menara Sumba )

Sejak sore bahkan hingga larut malam tetamu yang diundang oleh masing-masing tujuh bersaudara ini datang dan berpartisipasi.

Tarian diperagakan di halaman rumah penuh riang gembira dalam suka cita malam.

“Hari ini di puncak acara kami tujuh bersaudara sudah bersepakat masing-masing menyembelih ternak kerbau atau sapi dan babi lalu dibagikan kepada seluruh tamu undangan,” tutur Paulus.

Pantauan media ini, usai santap bersama, 16 ekor babi dan beberapa ekor kerbau serta sapi disembelih pada puncak acara yang berlangsung dalam guyuran hujan.

Curahan air dari langit yang tidak kunjung reda membuat tuan rumah pemilik hajatan kesulitan membakar babi yang kemudian disiasati dengan menggunakan minyak tanah.

Maklum, dedaunan kelapa kering yang biasanya digunakan untuk membakar babi sudah basah kuyup.

Bakar babi di tengah suasana hujan lebat yang mengguyur Kampung Wee Peddi. ( Foto Menara Sumba )

Babi-babi tersebut akhirnya dibakar di bawah naungan tenda yang sebelumnya diperuntukkan bagi tamu.

“Baru hari ini saya lihat orang bakar babi pakai minyak tanah di acara pesta adat,” sebut Eman salah satu undangan dari Loura.

Hari sudah jelang sore ketika hujan reda dan penyembelihan kerbau dilakukan, lalu dilanjutkan dengan pembagian daging untuk tamu undangan.

Usai memperoleh daging bagiannya, masing-masing undangan beranjak meninggalkan Kampung Wee Peddi dimana rumah besar suku Katoda Lobo kini kembali berdiri kokoh dengan bentuk yang sudah modern. ( JIP/MS )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *