Pagi itu jam di handphone “Nokia senter” milikku menunjukkan pukul 10 lewat. Secara refleks kakiku dituntun menuju ruang tamu dan tanganku segera mendorong pintu depan rumah kami lalu aku kunci.
Di belakang terdengar seret langkah Bela anak bungsuku yang usianya baru enam tahun. Kutengok ke belakang, ia tampak bingung dengan tindakanku tadi.
“Kenapa tutup pintu Ma? Sebentar pasti banyak yang datang selamat. Mari kita mandi Ma, biar baju baruku tak ada pakai saja baju lama,” ujar Bela masih terlihat bingung.
“O iya Ma, kita juga tidak punya kue untuk orang yang datang selamat,” cecarnya lagi.
Sontak aku terenyuh, dada terasa sesak karena sedih. Ah…. anak seusianya memang masih polos dan lugu sehingga bicaranya pun apa ada tanpa pikir panjang.
Mungkin pula ia merasa janggal karena Natal kali ini tak seperti tahun sebelumnya, ada kue, baju baru, dan lauk santap Natal daging babi peliharaan sendiri dari kandang belakang rumah.

Tapi apa boleh buat, kali ini babi di kandang pun tidak bersisa diterjang ganasnya virus ASF yang melumpuhkan usaha ternak warga di kampung kami.
Bela juga tidak tahu jika kue dan baju baru butuh biaya, sedangkan sudah sebulan ini ayahnya kelimpungan mencari daya untuk tutup utang kerbau.
Seekor kerbau jantan seharga 40 juta yang dibawa ke sebuah perhelatan pesta adat tahun lalu memaksa kami memeras otak siang dan malam mencari cara untuk melunasinya.
Maklum, kerbau itu kami ambil cuma bermodal nyali tanpa sepeser pun rupiah di tangan.
Tak pelak… setelah itu suasana hari-hari kami diliputi ketidaknyamanan didatangi sang pemilik kerbau menagih duit. Suamiku pun jadi tidak betah di rumah.
Ia lebih banyak keluyuran di luar, entah mencari jalan keluar atau sekedar menghindari tatap muka dengan Dairo pemilik kerbau yang wajahnya kini sudah jauh dari raut ramah.
Ia mulai terlihat galak dan sangar, lebih menyeramkan dari tampang debt collector ibu kota.
Mungkin sudah lelah menagih atau Dairo merasa telah dikibuli berulangkali dengan alasan yang menjemukan, raut mukanya kini selalu masam.
Soalnya saat melobi kerbau tersebut, kami janjikan bakal melunasi hanya dalam tempo sebulan. Namun hingga tahun ini akan berganti pun masih tersisa juga utang kami.
Kadang aku berpikir, apa otak kami ini masih waras. Saat anak-anak lagi butuh biaya sekolah yang tidak sedikit, kami malah sibuk ngutang untuk sesuatu yang tidak begitu penting.
Girang pesta pora cari nama ala orang Sumba telah membenamkan kondisi ekonomi keluargaku ke titik nadir. Karena sebelumnya kami baru melunasi harga seekor babi bertaring yang dibawa ke sebuah pesta kerabat dua tahun lalu.
Kini, setelah dililit bon kerbau, hari-hari kembali terasa bak dalam neraka diburu tagihan dari sebuah kepongahan katak hendak jadi lembu.
Ronggeng dan tari di halaman Kampung Gollu Watu desa tetangga di kecamatan kami setahun lalu, berubah jadi mendung kalut dalam pikiran yang memenjarakan kegembiraan.
Decak kagum undangan di perhelatan yang memelototi panjang tanduk dan gemuk tubuh kerbau jantan hasil utang membuat kami kalap dalam pongah sesaat.
“Na nya takka a ngarana mane kala’da a tu’ba we ‘bata ka’ba na aro umma (ini baru namanya kerbau jantan yang sepadan dengan ronggeng dan tari di halaman),” puji beberapa orang dalam tutur Wewewa salah satu bahasa ibu di kabupaten yang dijuluki Loda Wee Maringi Pada Wee Malala (negeri terberkati), melangitkan rasa bangga kami saat itu.
Namun api pongah yang membara itu pun padam seketika, tatkala pemilik hajat menunda pemberian seekor kerbau sedang sebagai mata api (hewan tanda penghargaan kepada tetamu) yang sudah disepakati sebelumnya.
Sinyal ingkar janji yang dikirim pemilik hajatan lewat tutur manis mulai terbaca kebohongannya, kendati kami masih menaruh harap bakal diberi mata api imbalan penghargaan secara adat.
“So’di kia ‘ba wali ko mbu’di ngindiwa na’e karambo (sebentar saat pulang baru kerbaunya diambil),” kelit sang pemilik pesta dibumbui kata gombal yang mulai mengaroma di pendengaran kami.
Meski demikian, untuk melipur gundah, saya dan suami masih menaruh harap karena bakal jadi modal untuk tambah-tambah lunasi tagihan Dairo yang juga menanti dengan penuh asa.
Benar saja, setelah itu belang si pemilik pesta pun mulai nampak. Hingga kami dan rombongan hendak beranjak meninggalkan tempat hajatan, mata api kerbau yang dijanjikan belum ada.
Waktu sudah maghrib dan kerabat yang turut rombongan kami mulai dihinggapi jemu karena menunggu, sedangkan rombongan lain telah lama meninggalkan area pesta yang mulai lengang.
Ngongo, si tuan pesta pun menghilang begitu saja meninggalkan kami dengan seribu rasa bingung. Batang hidungnya tak tampak dalam redup surya yang hendak kembali ke peraduan.
“Netti pu a lipa ellewa natti karambo tu’bana mata api (ia masih mengecek kerbau yang dijanjikan untuk mata api),” kilah isterinya dengan raut meyakinkan meski jelas terlihat mimik sandiwaranya.
“Kapei kona kama wali limma mbu’di ellemi natti karambo (Bagaimana bisa kami mau pulang tapi kerbaunya baru kamu cari),” tanya suamiku dengan nada meninggi karena tensinya mulai menanjak.
Kerabat yang turut dalam rombongan kami sudah mulai gusar karena gelap sudah hampir memenuhi pelataran kampung.
Sebagian besar sudah ngomel, minta agar sopir dump truk yang kami sewa segera menyalakan mesin dan tinggalkan tempat itu.
Pitam suamiku benar-benar sudah di ujung ubun-ubun, menanti janji mata api di tengah desakan kerabat yang mulai hilang sabar ingin beranjak dari kampung itu.
Amarahnya pun tidak bisa dibendung lagi, sambil marah-marah ia menyerapah isteri Ngongo dengan cacian. Susah payah saya membujuknya pulang, meski ia akhirnya luluh karena desakan kerabat yang turut rombongan kami.
Sejak itu, berulangkali kami menagih janji mata api, Ngongo tidak pernah lagi bisa dijumpai di rumahnya yang selalu kosong dan terkadang cuma ditunggui dua anaknya yang masih kecil.
Sama halnya kami yang kucing-kucingan dengan Dairo, ulah Ngongo malah lebih gesit berkelit menghindar seolah punya banyak intel yang mengawasi kedatangan kami.
Kondisi ini telah meracun suasana Natal yang kini terpenjara utang, tanpa kue, tiada baju baru untuk bungsuku Bela. ( Julius Pira )


































