Hal yang paling disenangi GM saat SD adalah sekolah sore, bisa belajar sambil bermain. Sekolah tambahan di luar jam ini disenangi karena tidak kenakan baju seragam.
Bisa sedikit gaya dengan pakaian bebas sambil lirik-lirik cewek pujaan. Tapi belum tentu yang dilirik menaruh perasaan sama.
Bagi GM tidak masalah, bisa bertemu dan beradu pandang saja sudah membuat hatinya melambung. Namanya juga cinta dalam hati. Justru yang ditakutkannya, jika ketahuan sang ayah pasti dirotan.
“Ada kisah konyol lain yang bikin saya keringat dingin. Saat itu kami sedang olahraga pagi bermain voli. Ketika mengoper bola kepadanya, tanpa sadar saya kentut dengan bunyi keras,” ungkapnya.
Ia pun jadi bahan olokan dan tertawaan teman-teman. Kendati malunya bukan kepalang, GM berusaha kendalikan diri dan tetap tenang agar tidak jatuh mental. Demi si dia rasa malu dan grogi dibuang jauh.
Selain olahraga voli, sepak bola, lari, dan bola kasti, GM sangat suka menggembala kerbau dan kuda. Inilah kegiatan yang ditunggu, bermain sambil menggembala.
Ia biasanya ke tempat paman untuk bermain kelereng hutan dan gasing. Dua hari sekali, kuda dan kerbau digiring menuju mata air untuk minum.
Foto Ilustrasi
Sering, ketika tiba di mata air bertemulah kerbau jantan milik orang lain yang juga digiring untuk minum. Ini salah satu kesukaan GM, adu kerbau. Apalagi jika kerbau miliknya sering menang, kepuasan batin pun tak terkira.
Usai diadu, sambil menanti kerbau berkubang dan minum, GM dan temannya mandi di bagian mata air yang bersih. Tanpa sabun mandi tentunya, karena untuk ukuran zaman itu sabun mandi masih jadi barang mewah di desa terpencil tersebut.
Keberadaan GM sebagai anak guru jauh dari kata istimewa. Sabun kebanggaan saat itu hanyalah ‘cap tangan’ untuk mandi dan cuci. Sedangkan untuk cuci rambut tanah liat jadi andalan.
Soal bersih bukan urusan, yang penting mandi dan shamponya tanah liat. Entah mungkin kebetulan, hingga saat ini belum sehelai pun rambutnya tersentuh uban.
Masuk SMP, Malas dan Jenuh Menghampiri
Tahun 1985 ia meninggalkan bangku SD, bersama kisah cinta pertamanya, juga berbagai kisah konyol lain. Ia harus meninggalkan Weekombaka untuk bersekolah di SMPK Gerardus Mayela Kalembu Weri.
Di sekolah ini, satu kelas seangkatannya berjumlah 40 orang. Dari SDK Weekombaka II sendiri terdapat 10 orang yang melanjutkan studi. Sekolah ini cukup baik namun mahal uang sekolahnya. Ia pun tinggal di asrama berdikari yang letaknya di seberang jalan, pada bagian utara sekolah.
“Saat SMP saya mengikuti pelajaran dengan baik dan mendapat nilai yang cukup baik juga. Awalnya, saat masih kelas satu, kami menikmati kebersamaan yang luar biasa. Maklum, sekolah dan asrama berada dalam satu kintal. Jarak sekolah dan asrama yang berdekatan memudahkan kami untuk lebih fokus belajar,” kisahnya.
Namun kemudahan ini tidak berlangsung lama. Saat naik kelas 2 pada tahun 1986, sekolah dipindah ke Jati Lima yang jaraknya kurang lebih 2 km dari asrama. Hal ini membuatnya agak terganggu karena pagi-pagi sudah harus berangkat, dan pulangnya berpanas-panas di terik siang hari.
Capek dan melelahkan. Ia hampir meninggalkan sekolah karena mulai dihinggapi rasa malas dan jenuh. Ketika hal ini diketahui sang ayah, GM harus menerima akibatnya. Ia disetrap dengan tali kendali kuda pacu (dalam bahasa daerah disebut sasi o’ba).
Saat naik kelas tiga, ia tetap tinggal di Asrama Berdikari Putra. Sedangkan dua adik perempuannya, Petronela Bouka Elo (sekarang guru SMKN 2 Wewewa Barat) dan Sisilia Rewa Elo tinggal di Asrama Berdikari Putri.
Sebagai anak laki-laki, GM terhitung nakal dan bandel. Inilah yang kemudian membuatnya memilih untuk bolak-balik Weekombaka-Kalembu Weri.
Dengan alat transportasi kuda, ia berangkat dari rumah Weekombaka menuju sekolah Kalembu Weri pergi-pulang setiap hari. Awalnya terasa asyik, tapi akhirnya bosan juga lalu kembali tinggal di Asrama Berdikari hingga tamat SMP.
Setelah tamat SMP, oleh sang ayah, GM diarahkan untuk melanjutkan sekolah di SMAK Anda Luri, Waingapu, Sumba Timur dan tinggal di Asrama Seminari Pada Dita. Asrama jaminan, makan dan minum dijamin, biaya pun dijamin bertambah, kelakarnya.
Dari SMPK Gerardus Mayela Kalembu Weri empat orang direkomendasikan oleh Pater Bernard Zizik, CSsR yakni Agustinus Ngongo, Ignasius Prakara, Antonius Bulu Lede, dan Gerardus Maliti.
Dari empat orang ini GM mendapat rekomendasi yang kurang bagus gara-gara urusan ajuda/misdinar. Setiap penghuni Asrama Berdikari saat itu diwajibkan jadi ajuda atau misdinar dan suatu sore ia malas ikut latihan ajuda di Paroki Kalembu Weri.
“Tanpa sadar saya bergurau dan nyeletuk bahwa ajuda itu tidak ada gajinya. Kelakar saya ini pun sampai juga ke telinga pastor paroki. Ujungnya hal ini jadi bahan pertimbangan oleh Pater Gerard May, CSsR yang saat itu menjabat Bapak Seminari, ketika saya hendak masuk SMA,” tutur GM lebih lanjut.
Di Asrama Pada Dita tinggal juga kakak kandung GM, David Tada Dadi yang saat itu duduk di kelas tiga. Ia banyak memantau dan menasehati sang adik. Saat GM kelas satu banyak penyesuaian yang sangat tajam, terutama suasana sekolah dan pelajaran.
Ia kemudian mulai terpengaruh teman dan kakak kelas, pelesiran ke kota tanpa sepengetahuan ketua asrama dan bapak seminari. Hingga suatu hari ia bersama 24 orang temannya, termasuk Alex Rangga Pidja (saat ini Kepala SMK Pancasila Tambolaka) ketahuan dan terjaring oleh Bapak Asrama.
Mereka disuruh menghadap Bapak Asrama dan diultimatum, apa masih betah atau ingin keluar dari asrama. Dengan kompak para siswa nakal ini memilih untuk tetap tinggal di asrama.
Mereka pun diganjar tidak diperbolehkan ikut kegiatan olahraga pada tiap Selasa, Kamis, dan Minggu. Hukuman ini diberlakukan selama tiga bulan. Sebagai gantinya, para ‘terhukum’ ini diperintah untuk mengerjakan jalan tanjakan yang menuju ke asrama. Dengan ngedumel dan dongkol GM cs menjalani hukumannya.
Gerobak jadi sasaran kedongkolan mereka dan akibatnya cepat rusak. Saking dongkolnya, mereka pun berulah dengan melarang Pater Gerard May melewati jalan yang sedang dikerjakan.
“Larangan tertulis dengan kata-kata dilarang lewat jalan sedang diperbaiki ini pun dituruti. Bapak Seminari sendiri yang memberi teladan sehingga Pater Gerard pun tidak lagi melewati jalan tersebut,” cerita GM.
Pada semester satu nilainya cukup memuaskan, walaupun kurang bagus kata dia. Memasuki semester dua mulai banyak teguran, bahkan dimarahi sang kakak.
Ia sering diingatkan, agar jangan sampai tidak naik kelas. GM pun mulai serius belajar, yang kadang dilakukan di bawah pohon atau daerah sekitar tanjung yang suasananya indah dan menawan.
Memasuki semester genap saat kenaikan kelas diumumkan, sangatlah mendebarkan. Hati jadi dag-dig-dug, antara senang dan kepikiran. Namun puji Tuhan dari empat orang alumni SMPK Gerardus Mayela Kalembu Weri hanya ia sendiri yang naik kelas.
“Ada rasa bangga, juga sedih karena ketiga teman saya tidak naik kelas. Padahal salah satu dari ketiganya adalah peraih juara umum di SMPK Gerardus Mayela Kalembu Weri. Dalam hati bergumam, mungkin Tuhan tahu jika tidak naik kelas bakal diganjar rotan ayah sehingga saya ditolong-Nya naik kelas,” kisah GM lebih lanjut.
Saat duduk di kelas 2 dan 3 SMAK Anda Luri Waingapu, ia sudah bisa beradaptasi sebagai orang kota. Diakuinya, sangat terasa perbedaan antara orang kota dan desa. Orang kota lebih cepat paham dibanding orang desa.
Saat kelas 3 jurusan IPS, GM mengikuti seleksi calon Imam yang diadakan oleh kongregasi CSsR. Timnya dari Sanata Dharma Yogyakarta. Setelah mengikuti tes psikologi selama kurang lebih dua jam ia dinyatakan lulus.
GM bangga sekali karena bisa mengerjakan soal yang sulit dan belum pernah dipelajari. Bahkan temannya yang jauh lebih pintar tidak lulus. Jumlah peserta yang lulus pun tidak lebih dari lima orang.
Sebelum diberangkatkan ke Yogyakarta, mereka diwawancara khusus oleh Pater Yulius Loli, CSsR. ia pun ditanya mau lanjut jadi frater atau tidak.
“Sambil pura-pura tarik nafas saya menjawab tidak. Akhirnya saya disuruh keluar, dan pendalaman materinya tidak dilanjutkan. Seketika itu saya merasa bebas seperti kisah Barabas dalam Injil saja,” selorohnya.
Memasuki tahun 1991, hasil ujian akhir diumumkan. GM tidak bisa mengambil amplop karena menunggak uang sekolah dan asrama. Namun dalam hatinya ia yakin lulus, setelah sebelumnya mendapat bocoran dari temannya siswa asal Kodi.
Untuk melunasi tunggakan biaya sekolah dan asrama, ia meminta sang ayah agar menjual kuda tunggangnya. Kuda jantan itu pun laku dengan harga 250.000. Hasil jual kuda dipakai lunasi tunggakan sekolah, asrama, dan pengambilan ijazah.
Pak Norbert Ama Ngongu, Tokoh yang Punya Andil
Sekitar bulan Agustus 1992, GM melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Ia memilih Mataram, NTB sebagai kota tempat berkuliah. Dengan Kapal Motor Kelimutu, seorang diri ia berangkat dari Waingapu menuju Lembar, Mataram.
Setibanya di Lembar ia langsung menuju rumah Bapak Norbert Ama Ngongu, yang dikenalnya lewat Romo Marcel P. Lamunde, Pr. Ia banyak mendapat arahan juga petuah dari Pak Norbert tentang studi dan masa depan.
Pak Norbert adalah salah seorang tokoh yang punya andil dalam perjalanan hidup Gerardus Maliti. Salah satu nilai yang ditanamkan beliau adalah tentang kebaikan dan kejujuran.
“Ia juga mengajarkan bagaimana menyelesaikan masalah dengan cara sederhana. Sungguh, petuah almarhum menjadikan saya makin dewasa dalam berpikir dan bertindak,” paparnya.
GM mengikuti tes penerimaan mahasiswwa baru di Universitas 45 Mataram. Ia memilih Fakultas Sospol, Jurusan Ilmu Komunikasi. Guna memudahkan kegiatan studinya, ia pun pindah kost yang dekat dengan kampus. Biar hemat biaya tranport, akunya.
Setelah lima tahun kuliah ia pun diwisuda tahun 1997. Pada tahun itu juga dibuka seleksi perwira karier, dan ia pun mendaftar.
Dari 170 peserta seleksi tahap awal, yang ikut tes pusat hanya 10 orang. Enam orang diterima mengikuti pendidikan, termasuk dirinya.
Angkatan Darat 1 orang, laut 1 orang, udara 2 orang, dan polisi 2 orang. Mereka yang diterima kemudian mengikuti pendidikan militer selama tujuh bulan di Akademi Militer Angkatan Darat Magelang. Sesudahnya, mengikuti pendidikan lanjutan di kesatuan masing masing.
Gerardus memilih jadi tentara karena tertarik pada kekompakan dan kegesitannya. Tentara selalu yang pertama hadir jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu di tengah masyarakat. Contohnya, ketika ada bencana alam, tentara yang pertama tiba dan memberi pertolongan.
“Selain itu, saat pertama masuk tentara masih zaman orde baru dimana Dwifungsi ABRI diberlakukan. Dalam benak, saya berpikir suatu saat bisa jadi anggota DPRD atau bupati,” akunya polos.
Resmi jadi prajurit AU, pada tahun 2002 sampai 2003 ia ditugaskan di Aceh. Bertugas di daerah rawan, aku GM, pasti ada takutnya juga. Sampai di medan tugas tetap mengikuti protap yang telah diajarkan sebelumnya.
Kontak senjata merupakan hal biasa, namanya juga daerah operasi. Selama hampir setahun bertugas di daerah operasi, ia melaksanakan perintah atasan dengan baik dan benar. Ini menjadi kunci kesuksesannya dalam pengabdian sebagai tentara.
Kini, Gerardus Maliti telah sukses pula membina biduk rumah tangga bersama Gretta Yuliana. Dari pernikahannya dengan wanita berdarah Solo, Jawa Tengah ini ia telah dikarunia satu orang putri dan dua putra.
Anak pertamanya Caroline Putri Maliti, yang kedua Nasaret Raja Muda Putra Maliti, dan anak ketiga Julio Caisar Tada Putra Maliti.
GM adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Buah kasih pasangan Bapak Frans Bulu Malo pensiunan guru SDK Weekombaka II dan Ibu Maria Dada Elo.
Ayahnya berasal dari suku/kabisu ‘Bei Delo-Winni Lagara, Kampung Togo Watu, Lombu, Wewewa Tengah. Sedangkan ibunya dari suku/kabisu Weelewo-Kato’da Lombo, Kampung Oba Kala’da, Weekombaka, Wewewa Barat.
Dari kisah ini menunjukkan bahwa ia hanyalah seorang anak desa yang hidupnya begitu membumi dalam kesederhanaan sebagai anak negeri tana marapu. ( Julius Pira )
Sukses untuk kedepan Gerardus Maliti.
Setiap pengalaman menjadi guru yang baik dan bijak.