TAMBOLAKA, MENARASUMBA.COM – Manusia tidak bisa menebak takdirnya sendiri, entah berujung dimana. Sebuah pameo lama berkata, manusia berencana Tuhan menentukan.
Terlahir dari keluarga guru, Kolonel (AU) Gerardus Maliti, S.Sos, M.Si tidak pernah membayangkan bakal jadi tentara. Apalagi tentara Angkatan Udara yang tidak lazim bagi orang Wewewa. Maklum, tentara yang ada di benak orang Wewewa kala itu hanya Angkatan Darat.
Pose Sang Kolonel AU saat awal masuk tentara. (foto : Dokumentasi Pribadi)
Pengakuan sang Kolonel AU ini diungkapkannya beberapa waktu silam dalam sebuah bincang santai dengan media ini. Meski awalnya ia enggan berkisah tentang perjalanan hidupnya.
Gerardus Maliti pun akhirnya membuka kembali nostalgia hidup yang selama ini tidak diketahui publik dan kami coba merangkumnya dalam sebuah kisah pendek nan sederhana.
Bukan apa-apa, tulisan ini ingin mengisahkan bahwa Gerardus Maliti (GM) adalah seorang anak desa biasa yang kebetulan saat ini mengabdi sebagai prajurit.
Ia juga hendak mengusir anggapan, bahwa saat jauh dari komunitas keluarga karena tugas negara diterjemahkan lurus sebagai “jauh dari akar rumput” dan meniadakan begitu saja kisah manis yang sudah terajut puluhan tahun.
“Saya lahir pada tanggal 27 Agustus 1971 di Wee Saruka, Samba Pollo (sekarang Desa Wee Baghe, Kecamatan Wewewa Selatan, SBD). Kebetulan ayah saya seorang guru pertama setelah menamatkan pendidikan di SMPK Gerardus Mayela, Kalembu Weri,” kenang GM.
Di tempat ini, ia dan kakaknya David Tada Dadi dilahirkan dimana sang kakak lahir pada tahun 1969. GM lahir malam hari, dalam suasana sunyi-senyap disertai hujan yang mengguyur. Jauh dari keluarga ayah dan ibu, hanya berharap bantuan rekan guru ayah yang juga bertugas di tempat itu
“Pada 1 Januari 1974 ayah pindah tugas mengajar pada SDK Weekombaka II, di Wewewa Barat. Di sini saya mulai bergaul dengan anak sebaya yang kebanyakan dari keluarga ibu dan salah satunya adalah Alexus Reda anak paman saya,” kisahnya lagi.
Walaupun masih kecil, GM sudah terbiasa membantu orang tua. Pekerjaan rutinnya adalah menimba air selepas jam sekolah di mata air Weekombaka, yang berjarak 7 km dari rumah.
Peralatan timba tradisional ka’bela yang terbuat dari beberapa ruas bambu pun dipikul. Belum diisi saja sudah berat, apalagi jika penuh berisi air.
Bahu pun harus lecet dan meninggalkan bekas kulit yang menebal. Menggembala kuda, kerbau, dan mengurus anak babi jadi pekerjaan wajib lain baginya.
Masuk sekolah dasar diawali GM sebagai murid pendengar selama satu tahun. Maklum, zaman itu belum ada taman kanak-kanak.
Kolonel AU Gerardus Maliti saat masih di bangku SD. (Foto : Dokumentasi Pribadi)
Lucunya, kendati sehari-hari berbaur dengan siswa kelas satu, tapi tidak dianggap murid kelas satu. Jadinya ia merasa punya dua angkatan ketika di kelas itu.
“Awal sekolah masih terbawa situasi sehari-hari di rumah, baru pukul 9 pagi perut saya sudah keroncongan. Diam-diam tanpa pamit saya pulang rumah untuk minta makan pada ibu,” ceritanya sambil terpingkal.
Sebagai anak guru kala itu ada semacam ‘dispensasi’ yang diakui secara diam-diam dan guru kelas GM saat itu Ibu Sisilia Leda Malo.
Siswa diajar mengenal huruf, menghafal lagu kebangsaan, lagu daerah, dan disuguhkan cerita dongeng lokal. Karenanya, setelah itu GM mulai betah di kelas hingga jam sekolah usai pada pukul 10 pagi.
Hobi Gembala Kerbau Hampir Tahan Kelas
Saat duduk di kelas 4 SD, GM hampir tidak naik kelas. Hobi bermain dan gembala kerbau membuatnya sering kali bolos.
Namun ia tertolong oleh Ibu Sisilia Leda Malo, gurunya ketika jadi siswa pendengar. Dengan ‘pengaruh’ sebagai istri kepala sekolah, Ibu Sisilia meminta agar GM dinaikkan ke kelas 5.
Maklum, Pak Lukas Ngongo Bulu, suami dari Ibu Sisilia adalah kepala sekolah. Sedikit pengaruh jabatan inilah yang mengatrol GM naik kelas 5 walau dengan embel-embel bersyarat.
Dampaknya, sepulang di rumah ia harus menerima hadiah dari sang ayah, dimarahi dan dirotan. Malu campur sedih jadi satu. Maklum, GM ketika itu sudah mulai mengenal cinta monyet.
Diam-diam ia jatuh hati pada salah satu teman cewek di kelasnya. Namun, gara-gara naik kelas bersyarat, kepercayaan dirinya sedikit menciut. Ia merasa grogi ketika memulai tahun ajaran baru di kelas 5 bersama sang pujaan.
“Sejak saat itu saya mulai serius belajar dan rajin membaca buku. Ini juga karena ayah mulai sedikit ketat mengawasi saya belajar,” kenangnya.
Puji Tuhan, semester pertama ia meraih rangking IV dari 34 orang siswa. Hati GM agak senang, karena tidak membuat malu Ibu Sili yang telah memperjuangkan kenaikan kelasnya. Ketekunan belajar pun terus berlanjut hingga naik kelas enam dengan nilai bagus
Ada kisah konyol yang sulit dilupakan GM ketika duduk di kelas 4 SDK Weekombaka II. Suatu hari teman sebangkunya dari Wee Kurra membolos tanpa berita.
Namun anehnya, pada hari itu adik dari temannya tersebut masuk dan duduk sebangku dengan GM. Usut punya usut ternyata adik temannya ini diutus oleh ayah mereka masuk kelas empat untuk menggantikan kakaknya yang bolos.
Sang kakak saat itu ditugasi menggantikan posisi ayah mereka yang sakit untuk gotong-royong di kebun orang. Karena wajib hukumnya, tenaga ganti tenaga dalam kerja gotong-royong olah kebun kala itu.
Teman satu bangku GM tidak masuk sekolah dan diwakilkan ke adiknya. Pak Kobus sang guru kelas pun turut bingung dan bertanya, kenapa anak ini masuk di kelas tersebut.
“Dengan santai anak itu menjawab bahwa ia disuruh ayahnya untuk menggantikan sang kakak yang tidak masuk sekolah. Sontak, satu kelas dibuat terpingkal-pingkal sakit perut. Pikiran lugu orang tuanya, jika kerja bakti bisa diwakilkan kenapa untuk urusan sekolah tidak bisa,” kisah GM sambil tertawa. Bersambung Hal. 2