Cerita Pendek
Oleh : Julius Pira
Tergesa-gesa aku memacu kendaraanku melintas di tengah gerimis yang terpercik di bawah langit Kota Tambolaka. Namun aku agak hati-hati karena jalan di depan sebuah kantor pemerintah di Sumba Barat Daya ini agak licin, maklum dari batu paving.
Guguran bunga sepe di awal Desember bikin jalan ini tambah licin, dan aku benar-benar harus memelankan laju motor matic yang kukendarai.

Sejatinya kota ini tidak ditumbuhi sepe, karena yang ada di halaman gedung pemerintah itu pun tidak lebih dari sepuluh pohon dari hasil pengadaan tanaman hias belasan tahun lalu.
Tapi entah kenapa saat bunga merah oranye dari pohon yang hanya tumbuh di halaman kantor itu mekar aku selalu sempatkan waktu meski sekedar lewat. Mekar bunga ini tidak saja menarik pandang juga memantik memori masa kecil yang kulalui di sebuah kota.
Aku masih tak mengalihkan tatapan dari balik ruang kantin yang sengaja kusinggahi untuk berteduh menanti langit cerah lagi. “Ini kopi tawar tanpa gula dan pisang goreng yang dipesan tadi” ujar pelayan kantin menyentak lamunanku.
“Terima kasih ya,” jawabku seadanya lalu mengambil gelas di atas meja dan menyeruput kopi tawar dalam suasana kantin yang juga sedang ramai dikunjungi pegawai kantor di kompleks pusat pemerintahan itu.
Sambil senyum sendiri menatap bunga sepe di kejauhan, anganku berkelana membawa aku jadi ingat Yusak, Anton, Ruben, Mateos, Dullah, Zet, dan sejumlah sahabat masa kecil saat masih jadi siswa sebuah sekolah dasar di Kota Kupang pada tahun delapan puluhan.
Masih jelas di mataku rupa gedung SD di bilangan Naikoten I, seberang sebuah lapangan kecil yang saat itu dikelilingi pohon sepe. Pada jam istirahat kami sering memanjat pohon berkulit licin itu lalu memetik buahnya, dan Yusak temanku adalah salah satu jago panjat.
Bersekolah di Kota Karang ini aku punya teman dari berbagai suku di seantero Nusa Tenggara Timur, bahkan dari luar tanah Flobamora. Ada Rote, Timor, Sabu, Flores, Alor, Adonara, Solor, Lembata, Sumba. Juga dari suku di luar NTT seperti Jawa, Sulawesi, Ambon, dan Batak.

Aku masih hafal wajah juga nama para sahabat putih merah ini, apalagi mereka yang suka makan biji sepe saat “keluar bermain”, istilah umum kami saat itu untuk jam istirahat.
Buah pohon sepe tidaklah enak, tapi yang namanya anak-anak selalu ada cara menyiasati diri ketika uang jajan di kantong kosong, ngemil gratis apa adanya.
“Beta pung Mama sonde kasih doi tadi pagi, lebe bae kunyah sepe sa ” ucap Ruben teman asal Sabu dalam dialek Kupang sekenanya di suatu hari pada jam keluar bermain. Sambil memukulkan buah berbentuk pedang dan berkulit keras itu ke pohon agar mudah diambil bijinya, ia terus mengunyah dan malah menyodorkan buah sepe lain untukku
Aku pun segera memukulkan pula buah pohon yang dikenal sebagai Flamboyan ini, membuka lalu mengambil bijinya dan segera masuk mulut. Rasa getir menjalari pengecap, tapi tidak membuat mulutku berhenti.
Segera teman yang lain ikut gabung, tak peduli baju basah karena keringat Yusak dan Mateos bergegas memanjat, lincah bergelayut seperti seekor monyet.
“Bosong dua su sama ke kode sa,” olok temanku Joni dari bawah pohon tapi kemudian titip suara minta jatah buah sepe juga.
Cekikik tawa lepas dalam suasana riang kami sekelompok anak SD di bawah rindang pohon sepe benar-benar lepas siang itu. Memori ini lekat dan sesewaktu menggelorakan rinduku untuk kembali ke masa manis itu.
Beberapa kali saat berkunjung ke Kota Kupang aku selalu menyempatkan diri menyambangi kompleks SD ini menyusur nostalgia, juga kompleks SMP bahkan SMA yang bangkunya pernah kududuki, kutimba ilmu dari situ dan kuraih secarik ijazah.
Rindu memang sedikit terobati, tapi rasa kangen yang menyengat sungguh tidak terkira karena suasana yang sudah banyak berubah, dan aku cuma terpekur sendiri, termangu di antara padatnya pemukiman yang menghimpit gedung sekolah itu tanpa keberadaan sahabat kecilku dulu dan rindang pohon sepe.
“Beta kangen bosong samua kawan-kawan, rindu guru-guru yang su beking katong jadi pintar,” gunamku membatin dengan mata berkaca.
Aku tidak bisa mendustai perasaan ketika tanpa sadar ada butiran meleleh dari kelopak mata. Di usia hampir kepala lima, mustahil rasanya jika aku cengeng seperti anak kecil.

Ya, aku jadi rindu cengkerama di ruang kelas tatkala guru berhalangan dan kami cuma ditugaskan mencatat pelajaran dari buku yang isinya dibacakan Sonya salah satu nona manis berdarah Rote di kelasku.
Ingin bertualang lagi menyusur Kali Biknoi yang membentang dan bermuara di Teluk Kupang saat jam pulang sekolah lebih awal di musim penghujan, atau kadang kala harus bolos hanya untuk bisa berenang sepuasnya di air jernih, memanjat kesambi dan kiti kata yang berbaris di sepanjang kali.
Rasa asam manis menyegarkan buah kesambi, juga buah kiti kata masak yang hitam mirip anggur jadi kesenangan untuk dinikmati bocah polos seumuran kami.
Sering pula kami kelayapan mencari buah kujawas tanpa izin di Kebun Raja yang tepat berada di sebelah tembok sekolah dasar itu. Dalam kintal yang dipenuhi berbagai pohon dan semak ini terdapat banyak jambu biji yang oleh warga Kupang disebut kujawas.
Terkadang karena keasyikan berkelana di dalam hutan kecil itu tanpa sadar aku sudah memanjat pohon kujawas yang berada persis di samping bangunan tempo dulu yang kemudian kuketahui sebagai istana raja.
Kami cukup hati-hati beraksi mencuri kujawas dan tidak sekalipun tertangkap tangan. Mengendap masuk dengan perasaan deg-degan, keluar dengan senyum puas manakala saku celana sarat berisikan buah kujawas hasil operasi di hutan kecil itu.
Nostalgia manis ini selalu bermain di pikiranku merangkai rasa rindu. Andai waktu dapat diputar kembali aku mau pulang dalam kisah cengkerama penuh tawa di bawah pohon sepe.
Aku baru tersadar dari lamunan saat kantin tempat aku berteduh dan ngopi mulai sepi ditinggal pegawai yang sudah kembali ke kantornya masing-masing.
Bergegas kubayar harga kopi dan pisang goreng di pemilik kantin, melangkah menuju parkiran tapi mataku tak lepas menatap bunga sepe yang merona menggelantung pada tangkainya di seberang kantor tadi.
Rindu tertahan yang kubawa pulang kembali menyeruak di atas kendaraan saat dalam perjalanan menuju rumah. Karena kini aku semakin jauh dari kenangan itu berdiri di atas titian rindu menanti musim sepe yang tak kunjung datang.
Tambolaka, 01 Desember 2024
Penjelasan :
Beta pung Mama sonde kasih doi tadi pagi, lebe bae kunyah sepe sa (Ibu saya tidak beri uang jajan tadi pagi, lebih baik kunyah buah sepe saja)
Bosong dua su sama ke kode sa. (Kamu berdua sudah sama seperti monyet saja)
Beta su kangen bosong samua kawan-kawan, rindu guru-guru yang su beking katong jadi pintar. (Saya sudah kangen kalian semua kawan-kawan , rindu guru-guru yang sudah bikin kita jadi pintar)





















