( Quo Vadis Pariwisata Sumba Part II – Habis )
Untaian Buah-buah Pikiran Calon Bupati SBD Agustinus Tamo Mbapa, S.Sos, M.Si

Suasana gulita malam hari di Kota Tambolaka. ( Foto Menara Sumba )
Bunyi hujan yang cukup keras pada Jumat (01/04/2022) malam lalu tidak mengganggu obrolan kami yang kian menukik kritis.
Namun bincang ini terhenti sejenak meladeni pertanyaan pramusaji Sirkey Café & Resto. “Bapak mau pesan apa?” tanya sang pramusaji yang terlihat menggenggam secarik kertas dan ballpoint.
Kami mendelegasikan sepenuhnya urusan ini kepada Pak Gustaf. Apalagi ia tengah diet, saat malam cuma makan sayur dan hindari yang berbau karbo.
Setelah pesanan rampung dan pelayan berlalu, diskusi pun berlanjut. Pak Gustaf kembali menyeruput kopi pahitnya sebelum melontarkan satu pertanyaan pada saya.
“Sejak kapan lampu penerang jalan di seantero kota ini tidak berfungsi?” tanya Presidium Gerakan Kemasyarakatan Pengurus Pusat PMKRI 2002-2004 ini.
Saya menggeleng, karena memang tidak tahu. Meski seorang wartawan, memori saya tidak merekam tentang lampu jalan. Pasalnya, domisili saya di luar Kota Tambolaka dan hampir tidak pernah berada di ibu kota kabupaten saat malam hari.
Sejatinya, urusan lampu jalan ini perlu saya ketahui juga. Karena setiap kali membeli pulsa listrik, 9,09 persen dari biaya buat bayar token diperuntukkan bagi pajak PJU (Penerangan Jalan Umum).

Jejeran tiang listrik tanpa lampu penerangan jalan di malam hari sudah hal biasa di Kota Tambolaka. ( Foto Menara Sumba )
Saat beli pulsa listrik 50 ribu, tercatat di struk token 4.546 rupiah untuk PJU. Terasa janggal jika lampu jalan di seantero Kota Tambolaka padam bertahun-tahun. PJU sekian banyak itu masuk ke kantong siapa?
“Saya baru temukan kota yang gulita di malam hari dan itu di tanah kelahiranku. Sering jadi bahan ledekan teman-teman yang berkunjung ke SBD. Gus inikah ibu kota kabupaten kamu? Ditanya demikian saya jadi malu sendiri,” kisahnya pula.
Tambolaka, kini jadi sebuah kota tanpa penerangan jalan di malam hari. Tidak saja nihil PJU, juga miskin embel-embel promosi wisata. Jangankan billboard, saat keluar dari kintal Bandara Tambolaka menuju kota pun tidak ada tugu selamat datang atau semacam apa yang menandakan seseorang telah memasuki kawasan ibu kota.
Lampu trafficlight di pertigaan SPBU Radamata yang juga sudah malfungsi sejak zaman bupati MDT seolah mempertontonkan ketidakpedulian pemangku kepentingan terhadap fasilitas publik yang rusak.
Tidak malu, bertahun-tahun kota ini dikunjungi orang luar dan mendapati lampu pengatur lalu lintas yang tidak berfungsi. Bahkan, keberadaannya menyesatkan pengguna jalan karena saat lampu di tiang sebelah menyala hijau, tiang sebelahnya lagi menyala kuning.
Saat ini, sambung Gustaf, destinasi wisata di Sumba ini sangat menarik. Karena itu, harus ada interkoneksi semua hotel yang ada di Sumba. Seluruh pemda bertanggungjawab membangun interkoneksi agar wisata Sumba ini jadi sebuah kesatuan, tidak parsial.
Mestinya, di hotel-hotel itu ada brosur destinasi wisata, nomor kontak travel, dan pelayannya. Lalu billboard welcome to Sumba di bandara. Orang kadang bingung, ini SBD atau Waikabubak. Harus ada billboard reklame pasola, Danau Weekuri, atau Kampung Ratenggaro. Sama juga Sumba Timur, promosi yang jadi trending untuk daerah sendiri tidak ada.

Bandara Lede Kalumbang, Tambolaka terlihat dari ketinggian menara control. ( Foto Menara Sumba )
“Saya pernah usulkan, ketika pasola apa sih susahnya pajang billboard di Bali atau di Bandara Soekarno-Hatta, menyampaikan bahwa Sumba atraksi pasolanya tanggal sekian. Itu kan bagian dari kepentingan promosi,” sambung Gustaf sembari menyuap potongan kangkung dan menyeruput kuah asam ikan kakap dari mangkok.
Sambil meneruskan suapan, Gustaf berkisah bahwa ia sangat gencar mengajak sejumlah relasinya untuk invest di Sumba. Kesan mereka, destinasiya bagus, tapi sarana dan prasarananya sangat minim. Mulai dari penerangan jalan, prasarana di sekitar destinasi seperti toilet, dan kampung adatnya juga tidak dipersiapkan dengan baik.
Seperti Laguna Weekuri misalnya, papan pijakan di danau itu sudah banyak yang rusak. Sepele, tapi dapat mencelakakan pengunjung, karena bisa saja ada yang terjatuh.
Kiat dan Inovasi Agar Orang Betah dengan Sumba
Bicara wisata bukan soal tourism atau orang barat belaka. Tapi bagaimana Sumba ini menjadi tempat yang dikunjungi orang, baik domestik maupun luar negeri, dan kedatangannya membawa dampak ekonomi.
Misalnya ketika hotel-hotel butuh sayur-mayur dan segala bahan natural, dibeli dari pendudul lokal. Untuk itu, kadis pariwisatanya harus lebih proaktif, inovatif, dan kreatif agar pariwisata bisa tampil sebagai penggerak ekonomi. Mestinya pula pariwisata menjadi sektor primer penyumbang PAD.
“Pernah saya usulkan, agar terkesan orang yang baru menjejak kaki di Sumba disambut khusus. Oleh pemda diterima secara adat dan dikalungi selendang misalnya. Kesan inilah yang dibawa pulang ke negerinya dan mengajak orang lain untuk datang ke Sumba,” timpal alumnus SMAK Anda Luri Waingapu, Sumba Timur ini.

Atraksi Pasola di Kodi, Sumba Barat Daya. ( Ist )
Seremonial diadakan bagi yang baru pertama datang di Sumba dengan tarian Kodi, Loura, dan Wewewa. Bisa dilakukan di ruang tunggu bandara, pakai tutur adat dengan durasi paling lama 20 menit. Tidak butuh kreasi yang wah dan megah, sederhana namun berkesan.
“Tapi ini hanya sebatas ide saja. Seperti di Bali, tamu diterima dengan bunga. Di sini cukup selendang kecil hasil tenun ibu-ibu kita di desa. Pariwisata hidup, para perajin kita juga hidup,” sarannya pula.
Ditanya letak perkaranya, ia menilai persoalan ada pada pemda yang kurang terbuka untuk dialog. Dialog dengan para praktisi pariwisata, pengusaha lokal, dan stakeholder lain, termasuk media untuk bagaimana membangun pariwisata daerah.
Kedua, para pejabat daerah sering menjalani tugas ke luar wilayah. Mestinya, banyak referensi yang didapat dan jadi pedoman untuk mengatasi persoalan yang ada.
Ketiga lanjutnya lagi, workshop program pemda perlu dilakukan per tiga bulan atau per semester untuk evaluasi program. Jika tidak dilakukan, mustahil dapat diketahui apa saja yang belum dikerjakan.
“Ibaratnya, mereka harus naik pesawat supaya dapat melihat ke bawah mana yang bolong. Jika selalu berada di darat tidak akan tahu dimana lubang. Katanya banyak hutan, ternyata kelihatan dari udara sudah gundul,” sebut Ketua Umum pertama FK Gema Wona Kaka periode 1993-1995 ini, sambil menyendok suapan terakhir kangkung tumis dari piring di depannya.
Gustaf sangat berharap para pemimpin bisa melongok perkembangan di luar. Lihat kemajuan daerah luar untuk dicontoh membangun daerah sendiri.
“Acara internasional dibuat di Ratenggaro yang libatkan beberapa negara. Kok Ratenggaro kelihatan masih seperti sebelum acara tersebut. Pagar di dinding tebing juga tidak ada. Ada rumah yang kemarin saya lihat belum diatap dengan alang,” sentilnya lagi.

Keindahan Danau Wee Kuri yang memukau namun belum tergarap dengan baik ( Ist )
Musababnya menurut dia, evaluasi dan monitoring tidak dilakukan. Atau bisa saja pemda sudah kehilangan semangat untuk membangun daerah. Karena itu rakyat perlu bertanya, dan pemerintah tolong menjawab persoalan-persoalan tersebut. Sebab hal ini berdampak pada tingkat pertumbuhan ekonomi.
Memimpin itu, sebutnya pula, tidak sekedar menghabiskan periode jabatan belaka, tapi ada legacy yang ditinggalkan. Hal itu yang mesti diakukan pemda. Seperti Bali, dengan beragam macam tradisi yang terpelihara wisatanya tetap survive di tengah geliat peradaban modern.
“Kemarin saat pasola, saya lihat kita belum konsisten. Mestinya siapa pun yang hadir di situ wajib kenakan busana adat. Saya pernah usul dulu, agar siapkan counter penyewaan bagi yang tidak berbusana adat,” tambahnya lagi.
Busana adat bisa disewa pada counter yang ada di lokasi pasola. Tarifnya tidak perlu mahal, sekali sewa 10 ribu untuk busana pria maupun wanita. Biar sedikit tapi ada imbas ekonomi untuk masyarakat.
Di Bali, jika sudah menyangkut urusan adat mulai dari kalangan atas hingga jajaran paling bawah wajib berbusana adat. Jadi dipersiapkan pra kondisi, diumumkan sebelumnya bahwa setiap yang datang di acara pasola wajib berpakaian adat Sumba.
Perhelatan pasola harus dikelola secara profesional. Kendaraan pengunjung misalnya, tidak boleh diparkir sembarangan. Harus pada tempat khusus parkiran yang dikelola warga lokal.
“Untuk identifikasi, pemilik kendaraan diberi kartu parkir. Jadi pasola itu betul-betul dalam suasana sakral dimana bunyi telapak kuda saja yang terdengar. Yang terjadi selama ini pasola jadi tidak sakral karena bising dengan bunyi knalpot motor,” tuturnya.
Pernah, lima tahun lalu ia bagikan tiga ribu batang lembing. Lembing tersebut dibuat belang-belang agar benar-benar sesuai aslinya. Ia membelinya dari anak muda setempat dengan harga seribu rupiah per batang.
“Dua tahun berturut-turut saya bagikan. Lha cuma saya yang bagi, yang pemda kok tidak bergerak. Akhirnya saya tidak lakukan lagi, dan baru kemarin saya minta anak-anak FK Gema buatkan 100 batang. Waktu pak Beni Harman datang nonton pasola, saya minta beliau serahkan secara simbolis,” cerita Gustaf.

Pelabuhan Waikelo salah satu pintu masuk lewat jalur laut. ( Foto Menara Sumba )
Selain lembing, inti pasola itu ada pada parade kuda. Dua hari sebelum pasola, mesti digelar parade kuda. Jadi sebelum pasola dihelat, dompet wisatawan sudah bocor saat nonton parade ini. Minimal, ketika menonton parade kuda isi dompetnya bisa keluar karena belanja sesuatu. Ini salah satu contoh sederhana bagaimana menyiasati situasi agar ada pemasukan untuk rakyat.
“Bagaimana dompet dia bocor dulu, sehingga ada dampak ekonomi untuk masyarakat. Banyak orang terpukau dengan Sumba. Tinggal bagaimana kita berinovasi, teguh mempertahankan dan melestarikan budaya agar tidak lenyap ditelan zaman,” pungkasnya mengakhiri perbincangan. ( Julius Pira )





















