( Quo Vadis Pariwisata Sumba Part 1 )
Untaian Buah-buah Pikiran Calon Bupati SBD Agustinus Tamo Mbapa, S.Sos, M.Si

Deras hujan terlihat dari balik jendela Sirkey Café & Resto, Tambolaka, SBD pada Jumat (01/04/2022) lalu.
Dingin maghrib yang beranjak menuju malam, dan remang temaram lampu resto itu menemani awal bincang kami ketika tamu lain mulai berdatangan.
Meski hujan lebat, masih ada yang berkehendak untuk menikmati malam di resto ini. Lumayan, kami tidak sendirian jadinya.
Ada belasan orang lain dalam resto itu menyaksikan obrolan kami dari meja seberang. Sedangkan di meja lain ada saya, Pak Gustaf Tamo Mbapa, dan seorang lagi kru media ini.
Sambil minum jus buah naga dan kopi yang diseduh tanpa gula, kami mengobrol santai dengan tajuk ringan tentang pariwisata Sumba.
Sekretaris Badan Jaringan Pembinaan Konstituen DPP Partai Demokrat ini menyebut, pariwisata Sumba dan budayanya ibarat dua sisi mata uang, saling melengkapi.
Menurutnya, Sumba digandrungi dan disematkan label pulau terindah ketiga di dunia tidak lain karena pesona budayanya. Tradisi turun-temurun yang kini terancam luntur itu mesti dirawat serta dilestarikan keasliannya, jika tidak ingin lirik mata dunia berpaling, dan anak-cucu kehilangan jati diri.
“Keaslian rumah adat misalnya, kini terancam karena alang sebagai salah satu bahan baku utamanya mulai sulit didapatkan. Padang ilalang yang dulu mudah ditemui, kini berubah jadi ladang pertanian atau pemukiman manusia,” ungkap alumnus FISIP Undana Kupang ini sembari menyeruput kopi tanpa gula dari cangkirnya.

Alang ini, kata dia, makin lama kian sempit lahannya lalu punah. Padahal, ciri khas dari rumah adat Sumba itu beratap alang. Ini yang membedakannya dengan rumah adat di daerah lain.
Karena itu, sangat mendesak bagi empat kabupaten di Sumba ini agar memikirkannya. Ia mengusulkan, masing-masing pemda bisa mengalokasikan lahan 200 hektar khusus untuk alang.
“Ini cara pemerintah menyubsidi setiap kampung adat. Bali berkembang pesat wisatanya karena keaslian budaya dan rumah adat yang terpelihara. Pernah saya baca, tulisan di sebuah majalah memperkirakan rumah adat Sumba akan punah akibat kekurangan alang dan segala macam bahan bakunya,” ujar Gustaf.
Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Katolik ini menuturkan, bisa saja suatu saat orang tidak lagi tertarik dengan Kampung Ratenggaro di Kodi Bangedo, SBD dan Kampung Prai Ijing di Loli, Sumba Barat.
Sebabnya, ketika kekurangan bahan baku, atap rumah adat misalnya dimodifikasi menggunakan seng.
Bahan baku lain yang juga tidak kalah penting adalah bambu. Saat ini ketersediaannya masih mencukupi. Namun siapa pun tidak bisa menjamin seandainya 50 tahun ke depan tanaman ini juga punah.
“Tapi memang alang dan bahan baku rumah adat ini harus dipikirkan. Pemda bisa buat pengadaan lahan khusus untuk kepentingan budaya. Namun apakah pemda sudah berpikir tentang hal ini?“ tanya Gustaf.
Menurutnya, ini adalah tanggung jawab moril semua pihak, terlebih pemerintah untuk menjaga kontinuitas budaya ke depan. Tidak hanya berpikir tentang saat ini, tetapi 25 hingga 50 tahun ke depan.

Kenapa? Karena dikhawatirkan semakin lama akan menjadi lahan privat. Jika orang sudah menjualnya menjadi lahan privat, tidak bisa diapa-apakan lagi.
“Mumpung sekarang peluang itu masih terbuka. Jangan sampai 25 tahun ke depan lahannya sudah jadi lokasi perumahan, lokasi perkebunan, kita tidak bisa memprediksi,” tutur Gustaf.
Sebagaimana Monas dan Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta, lahan dua ikon ibu kota ini diadakan jauh-jauh hari untuk kepentingan masa depan. Monas pada zaman Presiden Soekarno dan Taman Mini Indonesia Indah di zaman presiden enam periode, Soeharto.
“Nah seperti itu, orang sekarang bangga ada Monas dan Taman Mini. Kalau pemimpin saat itu tidak berani ambil sikap, entah apa yang bisa ditinggalkan sebagai ikon dan legacy untuk anak-cucu,” tandasnya.
Kendalikan Konsumsi Ternak, Jaga Populasinya
Hal kedua yang disentil Gustaf adalah populasi ternak, baik kerbau, sapi, dan kuda yang saat ini amat menyedihkan.
Ia menyebut, untuk memenuhi konsumsi ternak tersebut di SBD mayoritas didatangkan dari Sumba Timur. Keberadaan ternak ini begitu penting dalam tradisi budaya orang Sumba.

Jika ketersediaannya sudah pada titik defisit, Pemda SBD perlu berpikir untuk bagaimana mengembalikannya ke kondisi kecukupan.
Sambil itu, dikendalikan agar konsumsi ternak ini bisa disederhanakan, tidak jor-joran lagi seperti di masa lampau. Pas-pasan, yang penting ritualnya bisa berjalan sesuai norma adat.
“Kalau saya pikir-pikir nantinya bisa saja penyemayaman dan pemakaman jenazah misalnya, pakai ayam. Tapi itu bukan Sumba lagi dan selesai cerita Sumba sampai di situ. Nah ini juga butuh peran pemda, populasi ternak kita sekarang berapa itu mereka harus jawab. Yang KTP SBD berapa ekor, KTP dari luar berapa,” katanya lagi.
Jika tidak ada kerbau untuk pesta adat seperti woleka akan hambar juga. Tugas pemda harusnya seperti itu, memikirkan populasi ternak yang kian menyusut.
Menyusutnya populasi ternak ini, sebut Gustaf, disebabkan beberapa faktor. Pertama, tingginya konsumsi masyarakat. Ada juga karena diperdagangkan, dan menciutnya lahan penggembalaan.

Masa perkembangbiakan hewan ini juga terbilang lama. Ini sangat berdampak pada regenerasi dan tingkat populasinya. Namun perkembangan ini mestinya dapat diketahui.
Menurut dia, dinas terkait harus bisa memprediksi. Bagaimana kondisinya 10-15 tahun ke depan, sehingga mungkin bisa disiasati dengan bantuan pengadaan ternak muda untuk dikembangkan.
“Seperti kuda pasola, kok kuda kecil saja susah. Padahal pasola itu intinya di kuda. Saya pernah usulkan kepada Pak Bupati, bahkan termasuk sejumlah masyarakat bahwa kita harus punya kampung kuda pasola. Taruhlah 40 ekor, dan itu dipelihara khusus untuk kepentingan pasola,” imbuhnya.
Dengan adanya 40 ekor kuda yang sudah disediakan ini, akan mengimbangi kebutuhan kuda pasola. Yang terjadi saat ini jumlah kuda yang tampil di arena pasola sangat tergantung dari kuda di tangan masyarakat.

Sangat miris, karena kuda ini juga satu-satunya hewan yang terpampang di logo daerah SBD. Jika tidak ada lagi warga yang memelihara kuda, otomatis pasola pun tidak bisa digelar. Kemudian jadi anekdot, karena kuda yang tersisa cuma yang terpampang pada logo daerah saja.
“Ini juga bagian dari peran pemerintah melestarikan budaya. Populasi ternak harus dijaga kontinuitasnya untuk memenuhi kebutuhan itu. Jangan sampai terjadi, sudah umumkan pasola tanggal sekian tiba-tiba batal karena tidak ada kudanya. Jadi lelucon yang tidak lucu,” celetuk Ketua PMKRI Cabang Kupang periode 1999-2000 ini. ( Julius Pira ) bersambung….





















