TAMBOLAKA, MENARASUMBA.COM – Sudah lama niat untuk menguak sisi hidup salah satu pengusaha muda di SBD ini menggelitik pikiran.
Rasa kepo, penasaran, ingin tahu rahasia di balik semua yang sudah dicapai Direktur Utama PT Laratama Mandiri, Yoseph Yanuard Uma Kalada.
Siapa tidak kenal Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kabupaten SBD ini, sosok yang lebih akrab disapa Ongko A Kae tersebut sudah familiar bagi warga Sumba, apalagi SBD.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, dan keinginan itu akhirnya terjawab pada Jumat (09/08/2024) saat warga SBD disibukkan dengan kegiatan karnaval jelang HUT kemerdekaan RI ke-79.
“Saya lewati semuanya mulai dari nol, jadi memang proses ini sulit dan mahal, bukan langsung enak-enak,” akunya membuka kisah.
Ia pernah melakoni usaha jual beli hasil bumi (jagung), kapuk, dan mente masuk keluar kampung menenteng timbangan dacin di wilayah Kodi.

Ilustrasi orang memikul karung, salah satu aktivitas yang pernah dilakukan Yoseph Yanuard Uma Kalada saat meniti usaha dari nol.
Bahkan membuka lahan kebun, masuk di bawah kolong kendaraan saat masih menyetir truk, dan menyewa kios untuk tempat usaha.
Kisah sulit saat masuk keluar Kodi di tahun 90-an sudah jadi keseharian yang harus dilalui dan cerita itu melekat dalam benaknya hingga saat ini.
“Jalan di wilayah Kandaghu Tana (salah satu desa di Kecamatan Kodi Utara) saat itu masih berdebu, dan ketika ban truk pecah harus dipikul ke Toko Alam Subur di Kapaka Madeta (salah satu desa di Kecamatan Kodi) satu-satunya yang punya mesin kompresor,” kenangnya.
Selama berjam-jam Yoseph harus menunggu kondekturnya menambal ban meski didera rasa lapar dan haus.
Dalam kondisi itu, tak ada rotan akar pun jadi, tak ada air rasa haus disiasati dengan mengunyah buah mente lalu airnya ditelan untuk usir dahaga akibat sengatan mentari Kodi.
“Karena lapar lantaran menunggu berjam-jam kami cabut ubi di kebun sekitar lalu bakar dengan alang untuk alas perut yang sudah keroncongan,” ceritanya lagi.
Pekerjaan ini ia lakoni selama kurang lebih lima tahun, keliling dari kampung ke kampung timbang hasil bumi.
Semangatnya tidak pernah surut, meski saban hari harus pulang dengan rasa lapar ketika malam sudah teramat larut.
“Kami pulang dari Kodi kadang jam 1 malam, setibanya di rumah tidak langsung makan, masih tanak nasi dan lauk andalannya cuma mie juga ikan kaleng,” lanjutnya.
Begitu pula saat muatan hasil bumi dinaikkan ke dalam truk, jangan pikir ia cuma lipat tangan menonton.
“Saya ikut angkat karung berisi mente yang beratnya 50-60 kilogram naikkan di pundak kernet dan diteruskan ke dalam bak truk. Harus bantu karena kondekturya cuma dua orang,” imbuhnya.

Pemandangan salah satu sudut kintal belakang kediaman Yoseph Yanuard Uma Kalada yang dipenuhi sebagian kecil dari peralatan proyek miliknya. ( Foto Istimewa )
Ada fakta selama bertahun-tahun yang dialami dimana hidup begitu sulit dan pengalaman inilah yang mengajarkannya bahwa kesuksesan harus diperjuangkan.
“Makanya terkadang ada orang yang baru mau usaha tapi sudah minta bantuan. Saya bilang kenapa tidak mulai dulu dengan modal yang ada? Saya dulu siapa yang bantu?” katanya lagi.
Kisah Utang yang Selalu ingin Dikenang
Ia berkisah, memulai usaha dengan menyewa salah satu toko milik A Yung (pengusaha yang tinggal di Waikabubak) dengan biaya 1 juta per tahun.
Untuk membicarakan kesepakatan menyewa ia harus ke Waikabubak menemui pemilik toko, dan diminta paling kurang mesti kontrak selama dua tahun sebagai masa penjajakan.
“Saya tidak sepakat karena dananya tidak memadai, jadi mintanya satu tahun dulu. Tapi justru pemilik toko malah pinjamkan 1,5 juta, dan itu ditulis dalam nota dengan catatan diganti sampai ada kelonggaran,” katanya berkisah.
Namun ternyata, sampai detik ini pinjaman itu tidak pernah dikembalikan olehnya, hingga suatu saat ia menjelaskan kepada A Yung alasannya, karena ia ingin jadi utang selamanya.
Ia merasa itu sebagai beban dan tidak berkeinginan melunasi apalagi pada masa itu nilainya besar. Dengan cara ini Yoseph ingin kisah tersebut bisa dikenangnya sepanjang masa.
Bahkan suatu ketika anak A Yung datang hendak membeli serbuk karet untuk melapisi lapangan futsal, diberikan gratis sambil menceritakan tentang utang yang belum dilunasi.
“Sepulangnya diceritakan lagi kepada ayah mereka hingga saya ditegur, kenapa harus beritahukan anak-anak dan saya jawab biar mereka juga tahu,” ujar Yoseph.
Cerita sewa toko selama dua tahun itu akhirnya berjalan mulus, usahanya agak maju dan berniat memperpanjang sewa untuk dua tahun berikut.
Oleh pemilik toko biaya sewa pun dinaikkan lagi jadi empat juta per tahun, sehingga harus bayar delapan juta.
Apesnya, uang yang ada cuma empat juta cukup untuk panjar setahun, dan justru istri A Yung mengultimatum jika sampai malam tidak dibayar tunai delapan juta kesepakatannya batal.
“Dalam kondisi panik kami kumpul semua uang yang ada termasuk recehan seribu dan dua ribu untuk genapi jumlah,” tuturnya.
Benar-benar terjepit dengan deadline waktu karena pemilik toko menutup rapat pintu toleransi tidak bisa lewat dari malam itu.
Mau cari pinjaman pun sulit, dimana pada masa itu siapa yang dengan mudah bisa beri pinjaman? Karena tidak ada orang yang bakalan percaya begitu saja.
Tapi syukurlah, upaya kumpul uang seribu dua ribu itu pun membuahkan hasil dan akhirnya terpenuhi bilangan empat juta yang tersisa.
“Kami antar uangnya dalam gepokan yang demikian banyak dan tebal karena isinya uang receh seribu dua ribu,” kenangnya sambil tersenyum. ( Julius Pira – bersambung )




































