TAMBOLAKA, MENARASUMBA.COM – Harga beras di Kabupaten Sumba Barat Daya makin melangit tidak terjangkau kantong rakyat kecil.
Pantauan media ini di sejumlah pengecer, harga terendah dengan beras kualitas paling jelek pun bahkan tidak beranjak dari 14 ribu per kilogram.
Yoyo, salah seorang pengecer beras asal Sumbawa yang mangkal di ruas jalan Keretana, Kota Tambolaka mengaku tidak punya pilihan selain menaikkan harga agar tidak merugi.
Yoyo, salah seorang pengecer yang berjualan di ruas jalan Keretana, Kota Tambolaka sedang melayani pembeli. ( Foto. Menara Sumba )
“Kami hanya mengikuti harga dari pemasok beras di Sumbawa yang juga makin naik,” jelas Yoyo, Kamis (28/09/2023).
Menurutnya, selain harga yang terus naik, stok di pemasok juga kian menipis akibat kemarau panjang yang berimbas pada gagal panen petani sawah.
“Stok yang ada pada kami saat ini juga tinggal sedikit, pesanan baru belum datang sampai saat ini,” tambahnya.
Secara terpisah, hal senada dikatakan Maman, pemilik kios kelontong yang berjualan di area dalam kota Tambolaka.
Sudah seminggu lebih stok pesanan beras belum juga tiba dari Bima, Nusa Tenggara Barat meski sudah lama diorder dari pemasok langganannya.
“Dagangan saya juga sudah menipis, tapi mau bilang apa. Kita tunggu saja kapan berasnya tiba,” tuturnya.
Ia mengaku, saat ini tidak tersedia lagi stok beras yang dijual dengan harga 13 ribu per kilogram.
Harga sekarung beras kualitas medium dengan takaran bobot 50 kilogram dipatok dengan angka 800 ribu.
“Untuk saat ini harga sekarung beras dengan bobot 50 kilogram paling rendah 700 ribu,” ujarnya lagi.
Beras yang kian naik harganya ini sangat dirasakan dampaknya oleh masyarakat berpenghasilan rendah, terlebih petani yang saat ini tengah menghadapi ancaman kemarau panjang.
Salah satunya diungkapkan Yohanes warga Desa Kabali Dana, Kecamatan Wewewa Barat yang ditemui media ini Kamis (28/09/2023) petang.
Petani yang menggantungkan hidup dari bercocoktanam padi ladang dan jagung di lahan yang tidak seberapa luas ini tidak bisa menyembunyikan kecemasannya.
Kendati ia juga memiliki seperempat hektar lahan kopi, namun penghasilan dari lahan pertaniannya itu tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.
“Apalagi panenan kopi tahun ini juga menurun drastis, dan musim tanam tahun ini yang bergeser karena kemarau panjang,” sebutnya.
Ia khawatir jika waktu tanam bergeser karena kemarau panjang, maka masa paceklik pun kian lama dan ancaman kelaparan bakal dihadapi.
Dalam masa-masa sulit tanpa ada hasil kebun yang bisa dijual, lanjutnya lagi, bakal jadi momok yang menghantui keluarganya.
“Apalagi minggu lalu gerombolan belalang baru saja melintas di sini, dan ini jadi ancaman kecemasan juga apakah nanti padi dan jagung yang kami tanam bakal habis dilahap hama tersebut,” katanya dengan mimik gelisah. ( TIM/MS )