TAMBOLAKA, MENARASUMBA.COM – Harga komoditi hasil bumi yang cenderung merosot jadi salah satu perhatian bakal calon bupati SBD, Marselinus Lete Boro, SIP.
Hal itu diungkapkan Marsel dalam sambutannya saat mendaftarkan diri sebagai bakal calon bupati di sekretariat DPD PAN Kabupaten SBD, Senin (06/05/2024).
Menurutnya, pemerintah harus punya solusi agar harga hasil pertanian seperti jagung tidak jatuh bebas ketika memasuki musim panen.
“Saya ini coba sedikit keras, kita punya komoditi padi atau jagung yang harganya sekarang anjlok,” ujarnya.
Ia menyebut, jagung merupakan salah satu komoditi pertanian yang punya prospek ekonomi menggembirakan karena permintaan untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri sangat tinggi.

Penyerahan tanda terima pendaftaran kepada bakal calon bupati SBD, Marsel Lete Boro, SIP oleh Panitia Desk Pilkada PAN Kabupaten SBD. ( Foto Menara Sumba )
Komoditi ini, kata Marsel, punya pangsa pasar tersendiri dengan permintaan yang sangat tinggi untuk memenuhi kebutuhan pabrik pakan ternak.
Permintaan terhadap komoditi ini selalu tinggi dan bahkan tidak mencukupi permintaan pasar terlebih saat masa panen belum tiba.
“Makanya saya sangat kaget ketika mendapati harga jagung di SBD saat ini hanya berkisar 3.500 per kilogram padahal di Kupang saja sudah mencapai 12 ribu per kilogram,” tuturnya.
Di lain pihak, untuk mendapatkan hasil panen maksimal petani mesti berjibaku dengan sejumlah persoalan, seperti pupuk yang sulit didapatkan karena tiba-tiba jadi langka saat dibutuhkan.
“Belum lagi anomali cuaca karena iklim yang tidak menentu dan serangan hama belalang yang akhir-akhir ini jadi momok tersendiri bagi petani,” kata Marsel lebih lanjut.
Karena itu pemerintah wajib punya tawaran solusi dan tidak membiarkan petani bergelut sendiri dengan persoalan tata niaga hasil bumi ini.
“Bukan hanya menyemangati petani untuk menanam dan panen, tapi juga ada elaborasi pemasaran,” imbaunya.
Menurut pensiunan ASN yang juga lama bergelut di dunia jurnalistik ini, amat naif di tengah gejolak krisis pangan dunia, justru harga jagung di tingkat lokal jatuh bebas karena dikendalikan tata niaga kapitalis.
Alasan klasik yang menyitir hukum ekonomi dimana harga barang bergantung pada mekanisme pasar disebutnya sebagai upaya cuci tangan dan lepas tanggung jawab terhadap nasib petani.
Dalam persoalan ini, istilah mekanisme pasar sangat tidak relevan karena pemerintah masih punya berbagai macam solusi yang sifatnya protektif jika memang punya niat serius membantu petani.
“Pemerintah punya banyak kiat, misalnya melobi investor untuk mendirikan pabrik pakan ternak di SBD atau mendirikan badan usaha yang memasok kebutuhan industri di luar daerah,” imbuhnya.
Fenomena yang terlihat justru harga komoditi petani selalu jadi isu kampanye nan seksi saat musim politik tapi setelah itu sama sekali tidak ada yang bisa dikerjakan.
Kendati demikian ia tidak memungkiri jika ada sejumlah komoditi hasil bumi lain yang sangat bergantung pada mekanisme pasar dunia karena konsumennya dari luar negeri.
Seperti harga mente yang dikemas sedemikian rupa jadi bahan kampanye politik padahal faktanya pasar komoditi ini ada di luar negeri.
Masyarakat yang tidak paham tentang hal itu jadi mudah percaya dan terprovokasi dengan kemasan iklan kampanye berlabel harga mente.
“Kadang kita mau jadikan itu sebagai isu politik, padahal harga mente tergantung permintaan dunia, jadi jangan bilang kalau saya terpilih mente akan naik 50 ribu padahal itu bohong,” pungkasnya. ( JIP/MS )










































