JAKARTA, MENARASUMBA.COM – Luas hutan di Pulau Sumba saat ini sudah dalam kondisi yang sangat menguatirkan.
Hasil penelitian Aji Wihardandi yang dirilis di www.mongabay.co.id pada tahun 2013 menemukan bahwa pada tahun 1927 luas hutan primer Sumba mencapai 55 persen.
Namun pada tahun 2009 luasan hutan itu tersisa 4,5 persen saja sehingga amat menguatirkan dan juga mengerikan.
“Terbayang ancamannya di masa mendatang yakni kemarau panjang dan kekeringan dengan dampak kelaparan besar berkelanjutan,” sebut salah satu pemerhati sosial asal Sumba, Dr. Servulus Bobo Riti, S.Pd, MM, Kamis (01/02/2024).
Ie mengaku tidak punya keahlian di bidang kehutanan, namun melihatnya dengan kacamata pembelajar sosiologi.
Dr. Servulus Bobo Riti, S.Pd, MM. ( Foto Istimewa )
“Saya kira, hutan di Sumba masuk kategori hutan primer sebagai warisan nenek moyang sejak ratusan tahun lalu terutama di sepanjang pinggir pantai Pulau Sumba dan di daerah dalam, itu sebabnya kita punya burung endemik,” ujarnya.
Servulus berpendapat jika kondisi hutan saat ini, bahkan sejak era 1970-an, sudah bergeseser menjadi hutan sekunder.
Artinya, warisan nenek moyang ini sudah mulai dirusak dan dibabat membabi buta karena berbagai faktor ekonomi.
“Sebut saja untuk memenuhi kebutuhan papan bagi pembangunan ramah, lahan kebun baru, dan kayu api karena kebutuhan bakar aspal dan rumah tangga sehingga luasan hutan sekunder juga sudah kian menipis,” tambahnya.
Pembangunan sarana prasarana jalan pun, misalnya, tidak sungguh sungguh mempertimbangkan asas hutan keberlanjutan.
Semestinya tidak mengorbankan hutan yang sudah tersisa sedikit tersebut, dan kalau pun dikorbankan cukuplah sesuai kebutuhan perlintasannya.
“Dampak yang sudah dan akan terus kita alami adalah curah hujan yang makin berkurang dan makin jauh,” kata Servulus lebih lanjut.
Kepala Biro SDM dan Organisasi BP2MI ini menyebut, dampak ikutan lainnya adalah kekeringan, ketersediaan air tanah makin menipis, dan potensi gagal panen palawija yang akan menambah masalah baru yaitu kemiskinan sehingga menjadi tidak sejahtera.
Dampak lain yang sudah nyata sejak era 1990-an adalah pembangunan rumah adat yang bergeser dari beratap alang (Umma Ngaingo) menjadi beratap seng (Umma Tabaga).
“Apa bedanya? Bahan utama Umma Ngaingo bersumber dari hutan primer dan sabana, tetapi sudah sangat sulit didapat di era tahun 2000-an, seperti kayu, tali hutan, bambu, dan alang,” jelasnya lagi.
Ketika Umma Tabaga diganti dengan balok, paku, seng, semen maka budaya rumah adat tahan gempa karena konstruksi kayu dan tali juga atap alang yang di siang hari sejuk atau saat malam hari jadi hangat, semua bergeser jadi serba paku.
“Saya meyakini, solusi terbaiknya ada dua, pertama, edukasi masif kepada masyarakat untuk memelihara jaga sisa hutan yang masih ada disertai penegakan hukum positif bagi yang melakukan pelanggaran,” imbuh Servulus.
Kedua, menggalakkan kembali reboisasi di kawasan bekas hutan primer yang sudah gundul meski Ini tidak mudah karena butuh biaya besar.
“Tapi untuk Pulau Sumba yang berkelanjutan para rato adat bersama pemerintah bisa mengadakan ritual sumpah adat janji kepada leluhur dan Tuhan,” tandasnya. ( TAP/MS )