TAMBOLAKA, MENARASUMBA.COM – Banyak yang tidak tahu jika Aleks Rangga Pija, tokoh muda yang sukses mengabdikan kemampuannya di dunia pendidikan ini pada waktu kecil bercita-cita jadi Pastor.
Alasannya sangat sederhana. Aleks kecil yang saat itu masih bersekolah di SDK Bombo, Kodi Utara terkagum dengan salah satu Pastor asal Eropa yang setiap kali datang mengendarai sepeda motor trail.
Kenangan hidup masa lalu nan bersejarah ini dituturkan kembali oleh sang pimpinan SMK Pancasila, Aleks Rangga Pija, SH, MPd kepada media ini beberapa waktu lalu.
Ketika pulang, kisahnya, Pater Kwius sang Imam yang melayani umat di wilayah itu selalu dihadiahi ayam oleh Pembina Umat yang diikat pada jok belakang trail biru itu.

Pose Aleks Rangga Pija bersama istri dan anak-anak. ( dok. pribadi )
“Tertarik dengan motor trailnya, pingin naik motor karena waktu itu saya cuma bisa tunggang kuda jika bepergian. Kalau Imam naik motor dan makan enak terus,” ceritanya sambil terpingkal mengenang cita-cita masa kecil.
Yang ada di benak Aleks kecil cuma itu, ingin naik motor dan makan enak. Belum terpikirkan tentang umat dan berbagai segala macam urusan menyangkut gereja.
Keinginan itu juga masih ada tatkala sudah tamat dari SMP di tahun 1988 dan hendak melanjutkan ke SMA Anda Luri Pada Dita, Waingapu, Sumba Timur.
“Namun saya kemudian terhenyak dan menyadari bahwa untuk menjadi seorang Imam itu memang tidaklah mudah,” akunya lagi.

Dikunjungi sang ayah Jhon W. Haghe (tengah), Aleks Rangga Pija (kiri) dan Pater Roberth Ramone, CSsR (kanan) saat pose bersama di Wisma Sang Penebus, Nandan, DIY asrama tempat tinggal selama kuliah di Yogyakarta. ( dok. pribadi ).
Selain harus punya kecerdasan, paling tidak menjadi Imam itu harus orang yang benar-benar punya etitut mental dan rendah hati.
Karena dirinya salah satu pengagum misionaris Redemptoris setidaknya mendekati Santo Alfonsus de Liquori sang pendiri kongregasi ini.
“Nah ketika di Pada Dita, ya kecerdasan itu rendah. Artinya bisa naik kelas dan lulus SMA sudah bersyukur, lebih dari itu saya harus tahu diri,”.ungkap Aleks terus terang.
Idolakan Redemptoris
Tanpa bermaksud meremehkan kongregasi lain, ia tahu persis bahwa di Kongregasi Redemptoris itu disiplinnya sangat ketat dan mereka yang hendak bergabung haruslah pintar.
Ia begitu mengidolakan Redemptoris karena punya alasan histori dimana sang ayah juga adalah didikan Pater de Zwart seorang Imam CSsR asal Jerman saat menimba ilmu di SMP Anda Luri, Waingapu, Sumba Timur.
Dengan alasan sejarah ini, dirinya kala itu memang besar di lingkungan Redemptoris dan paham betul bahwa didikan di kongregasi ini demikian keras.
“Selain keras memang harus ada kecerdasan di sana, Kalau cuma setengah-setengah ya kita jangan coba-coba,” bebernya.
Setelah niat jadi Imam tidak kesampaian dan sudah menapak jenjang pendidikan tinggi di Yogyakarta, ia kemudian memilih untuk kuliah di fakultas hukum.
Kali ini cita-citanya berubah haluan, ingin jadi pengacara agar bisa menolong orang lain yang butuh bantuan hukum.
Alasan lain, rupanya ia ingin menghindari jurusan yang mata kuliahnya ada hitung menghitung, karena pengetahuan matematikanya amat rendah.
“Tidak kuat di matematika sehingga waktu itu ambil jurusan hukum karena saya lihat kurikulumnya tidak terlalu banyak hitungan,” akunya polos.
Namun usai menyelesaikan studi, mimpi untuk jadi pengacara pun tidak kunjung terwujud setelah gagal mengikuti tes di Pengadilan Tinggi Kupang, karena sulitnya bukan main.
“Karena memang itu tadi, berangkat dari kecerdasan yang cuma pas-pasan. Bahwa kemauan tinggi juga tidak cukup jika tidak punya kesempatan untuk belajar dengan benar,” ujar Aleks. ( Julius Pira )




















