Feature

Kisah Hidup Aleks Rangga Pija (Bagian II) : Sulit Biaya, Sering Cuti dan Kuliah sambil Kerja Serabutan

×

Kisah Hidup Aleks Rangga Pija (Bagian II) : Sulit Biaya, Sering Cuti dan Kuliah sambil Kerja Serabutan

Share this article

TAMBOLAKA, MENARASUMBA.COM – Setelah menamatkan pendidikan SMA tahun 1991 Aleks melanjutkan studi di Kota Pelajar Yogyakarta pada Fakultas Hukum, Universitas Widya Mataram.

Kuliah di kota pelajar dijalani dengan tantangan tidak sedikit karena minim dukungan biaya, dan memaksanya memeras pikiran agar bisa bertahan hidup.

Untuk itulah ia tidak risih dan gengsi manakala harus bekerja membantu di sebuah warung makan.

“Ya terus terang bagaimana kita mau belajar tekun waktu itu, saya hanyalah anak petani. Untuk selesaikan kuliah harus cuti dulu agar bisa jual koran, telur ayam, dan pakaian kredit buat menyambung hidup dan lanjut kuliah lagi,”.tuturnya.

Di atas KM Kelimutu dalam pelayaran menuju tanah Jawa untuk melanjutkan pendidikan di Yogyakarta setelah tamat SMAK Anda Luri Waingapu pada tahun 1991. ( dok. pribadi )

Kondisi ini telah memenjarakan pikirannya saat itu yang membuat seakan-akan pasrah menjadi orang bodoh.

Padahal semua itu akibat ekonomi orang tua yang pas-pasan untuk biayai sekolahnya.

“Pada zaman itu bersurat saja tiga bulan baru sampai, belum lagi kiriman uang yang hanya 25 ribu lewat wesel pos juga berbulan lamanya baru saya terima,”.kisah Aleks.

Kecerdasannya terkuras karena pikiran terbagi antara ikhtiar untuk studi dan perjuangan agar bisa makan minum, juga cari biaya tambahan buat kuliah.

Karena ia pun malu jika harus pulang ke kampung halaman dengan tangan kosong tanpa menenteng ijazah sarjana.

Jika saat itu orang lain mengincar untuk bisa kuliah di kampus favorit seperti Universitas Gajah Mada, Atma Jaya, atau Janabadra, Aleks terpaksa harus kuliah di Universitas Widya Mataram.

“Jujur, waktu itu saya tidak tembus di universitas favorit karena memang kecerdasan tidak ada. Maka masuklah saya di Widya Mataram karena prinsipnya yang penting jadi sarjana,” akunya jujur.

Sepeda Ontel dan Sepenggal Kisah Asmara yang Kandas di Kota Pelajar

Lokasi kampus yang jauhnya 5 kilometer dari tempat kost memaksa Aleks putar otak agar bisa kuliah tanpa harus repot keluar biaya transport, karena dukungan dana dari Sumba yang tidak menggembirakan.

Ia akhirnya memilih sarana transportasi yang tidak butuh BBM biar irit ongkos, dan sepeda ontel pun dipilih Aleks karena hanya butuh kayuhan kaki semata saat dikendarai.

Tunggangan kebanggaannya ini dibeli seharga 45 ribu dari hasil kerja serabutan dan jadi kendaraan sehari-hari hingga tuntas kuliah.

Aleks Rangga Pija (kanan) bersama Pater Roberth Ramone, CSsR (tengah) saat dikunjungi sang ayah Jhon W. Haghe (kiri) di Wisma Sang Penebus, Nandan, Yogyakarta. ( dok. pribadi )

Namun jangan dianggap remeh, karena di atas sadel tunggangan yang menemaninya hingga tamat kuliah ini setidaknya ada tiga gadis yang pernah dibonceng Aleks.

Sepeda ontel yang konon hingga kini masih terawat baik dan tersimpan di Yogyakarta itu jadi saksi sepenggal romantisme cinta ayah empat anak ini bersama dara jelita tanah Jawa yang meski kemudian kandas di tengah jalan.

“Selama kuliah saya sempat pacaran dengan tiga gadis, dan salah seorang diantaranya sampai hubungan serius dan hampir saja berjodoh,” akunya.

Boncengan sepeda ontel miliknya pernah diduduki dara jelita yang sempat dipacari Aleks ketika masih mengenyam bangku kuliah di UWM Yogyakarta.

Ia ingat betul rute setiap hari bersepeda menuju tempat kuliah, dari kost masuk Malioboro lewat Pasar Ngasem baru tiba di lokasi kampus yang didirikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPH Mangkubumi pada tahun 1982 ini.

Bertemu Mr. Stan sang Malaikat Penolong

Tuhan punya berbagai cara menolong umatNya yang dalam kesulitan hidup, dan sering tidak pernah ada dalam bayangan pikiran manusia, termasuk yang dialami Aleks.

Ada sebuah kisah tidak terlupakan olehnya, kala bertemu Mr. Stan warga Belanda yang sangat murah hati layaknya orang Samaria dalam kisah Injil.

Tidak pernah kenal sebelumnya, dan tak sengaja bertemu dalam bus saat pulang dari kampus di tahun 1994 kala ia sudah duduk di semester 6 FH UWM Yogyakarta.

Kebetulan duduk satu kursi di bus itu dan dalam bahasa Inggris yang belepotan ia berkenalan dengan bule asal negeri kincir angin ini.

“Komunikasinya jadi gagap, lebih banyak pakai isyarat tarzan karena bahasa Inggris saya jatuh bangun,” ujar Aleks terpingkal lucu mengenang pertemuannya dengan sang bule.

Aleks Rangga Pija (kanan) bersama sang adik, Benyamin Haghe (kiri) sedang membersihkan ayam untuk dimasak di dapur Wisma Sang Penebus, Nandan, Yogyakarta. ( dok. pribadi ).

Kelemahannya menguasai bahasa asing inilah yang jadi salah satu sebab ia tidak berani memilih sekolah imam. Terlebih karena harus menguasai bahasa Latin yang diwajibkan biara.

Ia ingat persis saat itu pukul 14.45 WIB, dalam pembicaraan tersebut sang bule menanyakan tentang kuliah bahkan bertanya kenapa tidak pakai motor ke kampus.

“Dengan bahasa Inggris patah-patah dan lebih banyak bahasa tubuh saya jawab polos bahwa orang tua tidak sanggup belikan motor dan karena itu lebih nyaman naik bus,” tutur Aleks.

Mr Stan kemudian meminta alamat tempat tinggal Aleks, dan selang sebulan usai perjumpaan tidak terduga itu ia dikirimi amplop coklat berisi 70 dollar AS yang diantar ke wisma.

Setelah ditukar jadi rupiah di bank, rejeki nomplok berjumlah delapan ratus ribu lebih itu pun langsung disetornya untuk uang kuliah selama dua tahun.

Pegawai kampus dibuat kaget dan bingung karena Aleks yang sering cuti kali ini bayar DP uang kuliah untuk dua tahun.

Loh, bagaimana bisa bayar duluan? Kan tidak tahu nanti biaya per SKS semester berikut karena setiap tahun berubah, sebut pegawai kampus itu. 

“Dengan lantang saya jawab, tinggal tambah manakala nanti kurang. Mumpung uang ada saya bayarkan memang,” cerita Aleks.  

Terkadang Berbohong Ketika Perut Kosong

Sekali waktu ia sudah demikian lapar karena bekal habis tapi tidak ada satu sen pun uang di tangan. Dalam situasi seperti ini muncul ide di luar nalar.

Setelah memeras otak ia menemukan “ilham Abunawas” dengan berbohong pada rekan satu wisma, jika ada tugas kliping dari kampus tapi ia tidak punya koran.

“Lalu saya dibantu teman satu wisma, kumpulkan koran hingga dua karung yang kemudian diam-diam saya timbang di warung dengan harga 150 rupiah per kilogram, dan uangnya dipakai beli makan,” kenangnya.

Pengalaman getir itu telah mengajarkannya untuk bagaimana mengelola hidup dengan baik agar tidak lagi merasakan kepahitan yang serupa.

“Waktu itu saya sudah punya pemikiran bahwa di kemudian hari tidak boleh hidup karena orang memberi kerja tapi saya harus menciptakan lapangan kerja,” papar Aleks pula.

Belajar hidup dari kesederhanaan yang ia alami, menguatkan pikirannya. Kenapa hidup itu sulit, mungkin karena manajemen yang keliru.

Sang ayah hanya punya semangat untuk sekolahkan anak-anaknya tapi daya dukung ekonomi sangat rendah.

“Hanya harap dari bertani, sawah, tanaman kopi dan kelapa, akhirnya ketika kuliah saya harus cuti hampir tiap tahun dan bekerja serabutan untuk bisa raih sarjana,” sambungnya. ( Julius Pira )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *