WEWEWA SELATAN, MENARASUMBA.COM – Waktu sudah menunjukkan pukul 10.52 wita ketika mobil rombongan bupati SBD meninggalkan kantor pusat pemerintahan (Puspem) di Kadula.
Pagi itu kami hendak berkunjung ke Desa Lawi Putta (pemekaran Desa Denduka) di Kecamatan Wewewa Selatan untuk melihat langsung kondisi jembatan gantung yang sebelumnya sempat viral di media facebook.
Rencana berangkat yang terjadwal pada pukul 09.00 wita, Kamis (15/06/2023) harus diundur karena bupati Kornelius Kodi Mete masih memimpin rapat di kantor tersebut.
“Kita tunggu sedikit, Pak Bupati masih pimpin rapat,” ujar Kepala Dinas PUPR Kabupaten SBD, Wilhelmus Wodalado, ST sesaat setelah turun dari lantai 2 kantor usai melakukan konfirmasi.
Didampingi Kabag Humasprokompi, Bonefasius Wungo, S.Sos (pertama dari kiri), Kadis PUPR Wilhelmus Wodalado, ST (kedua dari kiri) bupati SBD, dr. Kornelius Kodi Mete (baju motif) pose bersama saat mampir di salah satu rumah warga di Delo. (Foto. Menara Sumba)
Pagi itu rombongan terdiri dari 3 mobil, di depan sekali mobil Bagian Hubungan Masyarakat Protokol dan Komunikasi Pimpinan (Humasprokompi) yang berisikan Kabag Bonefasisus Wungo bersama kru, disusul mobil dengan plat dinas ED 1 C yang ditumpangi Pak Bupati Kornelius bersama ibu.
Sedangkan paling belakang mobil Toyota Hilux putih Kabid Bina Marga, John Umbu Deta yang kami tumpangi bersama Kadis PUPR SBD dan staf dengan pengemudinya sopir sang kadis sendiri.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 wita ketika memasuki desa Delo di kecamatan Wewewa Selatan dan tiba-tiba mobil bupati yang dikemudikan Om Ambros Bali Mema mendadak banting setir ke kiri dan memasuki jalan yang menuju ke kampung situs Umbu Koba.
Ketua Tim Penggerak PKK Kaupaten SBD, Ny. Margaretha Tatiek Wuryaningsih (baju putih) turut mendampingi bupati saat berkunjung di desa Lawi Putta. (Foto. Menara Sumba)
Rupanya orang nomor satu di SBD ini ingin melihat perkembangan pembangunan jalan menuju kampung tersebut yang saat itu sedang dikerjakan.
Namun niat untuk itu akhirnya urung dan kami cuma mampir sebentar di salah satu rumah warga, dan terlihat bupati sempat bercengkerama dengan pemilik rumah.
Tanpa sungkan, alumni Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta tahun 1990 ini langsung menuju belakang rumah dan menghentikan langkah mengamati tanaman porang, melongok sejenak kandang kerbau yang terlihat kosong.
Rombongan kami berbaur dan bercengkerama sejenak dengan warga di rumah itu, ada ibu paruh baya dengan seorang putra serta menantunya dan 5 orang cucu.
Pemandangan alam desa Bondo Bela yang masih perawan dan terkungkung minimnya sarana infrastruktur dilihat dari kejauhan. (Foto. Menara Sumba)
Usai menyinggahi rumah salah satu warga desa Delo itu perjalanan diteruskan dan kami tiba di kampung Kacoda, Desa Lawi Putta (pemekaran desa Denduka) saat jam menunjukkan pukul 12.52 wita.
Untuk bisa menjangkau jembatan gantung yang membentang di sungai Pola Pare ini rombongan harus berjalan kaki lagi menuruni lembah curam kurang lebih 300 meter.
“Dulu ini adalah jalan raya menuju jembatan yang terhubung melintas sampai ke seberang sungai masuk wilayah Bondo Bela,” tutur salah seorang warga Kampung Kacoda yang turut mengantar kami menuju jembatan.
Jika tidak diterangkannya bahwa yang sedang kami lintasi adalah bekas jalan raya, saya tidak akan tahu tentang hal itu karena yang terlihat di kanan-kiri cuma semak ilalang yang merimbun tanpa sedikit pun jejak jalan.
Gerak langkah bupati yang demikian cepat memaksa kami mengikuti irama sang Ketua DPC PDIP SBD ini dengan setengah berlari agar tidak keteter di tengah jalan.
Rekan saya Oktavianus Dapa Talu dari suarajarmas.com sudah terlihat basah kuyup bermandi keringat mengejar langkah bupati Kornelius yang sudah jauh di depan.
100 meter mendekati jembatan, jalan kian curam dengan kemiringan kurang-lebih 75 derajat dengkul pun terasa lunglai menahan bobot tubuh agar tidak tergelincir.
Bertaruh Nyawa di Titian Jembatan
Setelah berpeluh menuruni curamnya jalan, kami tiba di jembatan gantung satu-satunya akses yang permudah warga Bondo Bela untuk bisa berinteraksi dengan saudaranya dari desa lain di Wewewa Selatan.
“Jika saja tak ada jembatan ini, mau tidak mau harus turun sungai melewati rintangan bertaruh nyawa dan otomatis saat hujan akan terperangkap tidak bisa kemana-mana lagi,” terang salah satu warga.
Untaian jembatan gantung yang berayun keras saat dilalui dan mengundang bahaya jika tidak berhati-hati. (Foto. Menara Sumba)
Saat mencoba meniti jembatan gantung itu, hati agak cemas karena goyangannya berayun serasa hendak melempar tubuh saya ke bawah tepat di atas bebatuan sungai Pola Pare yang mulai menipis airnya.
Meski gamang, saya nekad menuju seberang jembatan dengan perasaan dag-dig-dug dan hati ketar-ketir karena belum pernah sekali pun merasakan ayunan jembatan yang lebarnya tidak lebih dari semeter ini.
Benak saya membayangkan betapa beresikonya melintasi jembatan dengan jumlah orang yang banyak, sebab seorang diri saja ayunannya begitu terasa.
Jembatan yang sempat viral di media facebook ini tidak saja memancing perhatian netizen namun lebih dari itu juga memancing maut bagi yang melintasinya jika tidak berhati-hati.
Setahun lalu salah seorang warga terpaksa meregang nyawa karena terlontar dari ketinggian jembatan itu tak berdaya melawan gravitasi bumi di tanah Ede ini.
Kepala Desa Bondo Bela, Matius Bili menaruh harap agar sarana infrastruktur jalan menuju wilayahnya bisa segera dibangun. (Foto. Menara Sumba)
“Kondisi ini benar-benar mengungkung pikiran kami untuk memajukan ekonomi dari bertani karena mahalnya ongkos mobilisasi hasil bumi,” tutur salah seorang warga lain dengan mimik putus asa.
Namun setitik berkas harapan menghiburnya, manakala saat menyapa warga di kampung Kacoda bupati berjanji untuk membangun jalan sepanjang 3 kilometer dan juga memperbaiki kondisi jembatan.
“Tadi Pak Kadis PUPR sudah usul kepada saya untuk membenahi jalan sepanjang 3 km yang melintasi jembatan gantung dari Bondo Bela sampai Denduka, dan kita upayakan anggarannya,” ujar Kodi Mete disambut tepuk tangan warga.
Wajah Matius Bili, kepala desa Bondo Bela yang juga menyempatkan diri untuk hadir terlihat sumringah saat mendengar pernyataan bupati.
Saya bisa meraba perasaannya, yang girang tidak terkira karena selama ini sangat kerepotan ketika harus memutar jalan panjang untuk bisa sampai ke kota kecamatan, apalagi ibu kota kabupaten.
“Kalau mau ke kota kecamatan di Tena Teke saya harus putar dulu lewat Kahale di Kodi Balaghar, dan untuk sampai ke Tambolaka lebih jauh lagi melewati tiga kecamatan di daerah Kodi,” tuturnya.
Bumi di desa yang dipimpinnya begitu permai dan subur, namun tandus geliat karena sekat isolasi infrastruktur yang buruk untuk mobilisasi hasil alam salah satu sudut firdaus tanah Ede yang masih terkungkung ini.
Jembatan gantung yang meski membahayakan nyawa tapi mau tidak mau tetap jadi pilihan anak-anak Bondo Bela untuk menyeberangi sungai Pola Pare menuju sekolah. (Foto. Menara Sumba)
Kehadiran bupati Kornelius siang itu jadi pelipur lara cemas anak-anak Bondo Bela yang selama ini bertaruh harap di atas titian jembatan gantung itu hanya untuk bisa bersekolah.
“Tidak ada pilihan bagi anak-anak untuk bisa sekolah selain melewati jembatan gantung itu. Karena SD maupun SMP ada di desa tetangga,” ungkap Kades Matius.
Menyedihkan memang, tatkala di tempat lain sudah menikmati kemajuan teknologi masa kini, Bondo Bela masih berkutat dengan persoalan jalan dan jembatan.
Listrik dan televisi pun cuma ada di angan-angan di alam perawan yang belum tersentuh kemajuan teknologi masa kini.
Tidak ada yang bisa dibuat kendati di tanah nan subur itu, seperti penggalan syair lagu lawas Koes Plus yang menyebut bahwa tongkat, kayu, dan batu pun bisa jadi tanaman.
Karena hingga hari ini asa masa depan anak-anak Bondo Bela masih menggelayut di jembatan gantung yang berayun dengan keras saat dititi kaki para bocah penerus bangsa di salah satu serpihan surga negeri yang telah hampir 78 tahun merdeka ini. ( Julius Pira )