KARUNI, MENARASUMBA.COM – Energik, ceplas-ceplos, tidak tedeng aling-aling begitu melekat dalam kesehariannya. Jika dirasa bermanfaat bagi publik apa pun akan dilakukan, meski terkadang banyak yang menyoalnya sebagai upaya pencitraan.
“Saya tidak ambil pusing dengan semua itu. Karena apa yang saya lakukan tidak untuk kepentingan pribadi. Saya tidak bisa berdiam diri di tengah berbagai persoalan masyarakat yang harus dibenahi,” ungkapnya berterus-terang dalam bincang ringan dengan media ini beberapa waktu lalu.
Gebrakannya tak luput pula dari pantauan media ini. Ia terlihat lebih banyak berada di tengah masyarakat, ketimbang duduk di belakang meja.
Adagium lama Kaisar Julius sang penguasa Romawi yang demikian kesohor vini-vidi-vici, datang, lihat, dan taklukkan, jadi kata kunci yang selalu teguh dalam benaknya untuk benahi persoalan rakyat.
Karena gaya kerja inilah, ada yang kemudian menjulukinya sebagai camat on the spot. Atasi persoalan langsung pada sumbernya. Tidak juga bergantung pada anggaran, tugas dijalani semampunya.
Itu pula yang mendorongnya untuk memotivasi sebuah obsesi besar, membangun agrowisata Loura yang dimulai dari kintal kantor camat. Mimpi besar ini bukan tanpa hambatan, karena minus daya dukung modal.
Ada pula hambatan lain dimana ia harus menghadapi kenyataan tatkala tanaman yang setengah mati dirawat akhirnya ludes dilahap ternak, padahal kintal kantor sudah berpagar.
Ia pun bahkan tidak berpikir dua kali merogoh kocek pribadi hanya untuk membiayai pemasangan gerbang besi di pintu masuk halaman kantor tempat ia berdinas ini.
Ketika pinang dan kelapa licin tandas disikat ternak, tak kalah siasat diboyongnya pohon kelapa setinggi lima meter yang sudah berbuah dan pinang yang juga tidak bisa dijangkau gigitan kambing.
Berjibaku saat menanam pohon kelapa berbuah di halaman kantor camat yang dipindahkan langsung dari kintal rumahnya.
Meski untuk itu butuh tenaga ekstra karena bobot pohon kelapa yang mencapai ratusan kilogram, berjibaku dan menggotongnya agar dapat ditanam di halaman kantor camat.
Jiwanya memang tidak pernah patah arang, keinginan dan semangatnya terlecut untuk wujudkan mimpi yang sudah dirajut. Nihil dana bukan soal, yang penting penuh sarat dengan amunisi semangat dan tekad yang kuat.
“Kita harus punya jiwa rela berkorban agar tanah negara seluas 23,37 hektar ini bisa bermanfaat. Ini yang mau kita hijaukan dengan tanaman agro wisata melalui perencanaan masterplan kecamatan,” tukasnya.
Kegiatan tersebut, akunya jujur, tidak dianggarkan dalam DPA kecamatan. Pembuatan pagar keliling misalnya, dilakukan secara gotong-royong, libatkan seluruh desa tanpa pula menggunakan dana desa.
“Mereka gunakan uang pribadi, gaji disisihkan sedikit untuk beli kawat. Mereka tanggung kawat, patok, dan gali lubang. Saya tanggung paku dan makan minum, yang disiasati dari anggaran suku cadang dan BBM kendaraan dinas camat,” akunya lagi.
Anggaran ini tidak pula dikutip dari biaya SPPD dan honor staf kecamatan. Karena menurutnya akan menganggu aktivitas pegawai, yang sudah minim anggarannya akibat refocusing.
Memagari kintal kantor camat dan menanaminya dengan berbagai jenis pohon buah, dilakukan bermodal semangat gotong-royong dan nyali nekad belaka.
Menggagas dan membangun sebuah lokasi agrowisata di tengah kesulitan anggaran memang sebuah tindakan ‘gila’. Pasalnya, saat ini banyak inspirasi yang harus layu sebelum berkembang karena minim dukungan dana.
Menyerahkan pohon sukun kepada Bupati SBD, dr. Kornelius Kodi Mete untuk ditanam pada acara penghijauan kintal kantor camat dengan tanaman buah, cikal bakal menuju agrowisata.
“Saya ingin terapkan pengalaman saat menjabat kepala bidang di dinas pariwisata. Sempat berkeliling di Batu-Malang, Gunung Kawi, Kidul, dan Sleman di Yogyakarta, hingga Lombok, Sumbawa, dan Sulawesi. Persoalan dana tidak boleh menjadi soal yang mengganjal terlaksananya keinginan tersebut,” terang mantan Camat Kodi Utara ini.
Ia mengaku, sangat terbebani jika pengalaman mengunjungi berbagai tempat wisata di Indonesia tersebut tidak diterapkan. Karenanya, jabatan Camat Loura yang kini diemban memberi ruang dan peluang baginya untuk mengaplikasikan pengalaman tersebut.
Turun tangan langsung dalam kerja bakti bersama Tripikacam, staf kantor camat, serta pemerintah desa, dan warga bergotong-royong tambal lubang di beberapa ruas jalan.
Lahan kosong yang juga kintal kantor camat seluas 23 hektar lebih menggelitiknya untuk bertindak walau di tengah situasi sulit dana sekalipun.
Didukung seluruh stakeholder penghuni aba luna lele liku lai paloda ia kini pantang mundur mewujudkan obsesi agrowisata menjadi nyata.
Aset kintal kecamatan yang dihijaukan sebagai cikal-bakal tujuan wisata agro, terus ia gagas di tengah tantangan yang tidak sedikit.
Secara konektif, kebun wisata kecamatan akan dikembangkan untuk menopang lokasi wisata lain seperti Bukit Lendo Ngara yang tidak jauh dari areal kantor camat.
“Rancangan ke depan berbagai fasilitas wisata akan kita bangun, termasuk rekreasi olahraga,” jelasnya penuh semangat.
Kemampuannya menggerakkan berbagai instrumen yang ada di wilayah Loura patut diapresiasi. Ia memang tidak sukar melakukan itu karena komunikasi keterbukaan yang dibangunnya, tanpa secuil sekat.
Baginya, keterbukaan merupakan hal prinsip yang teguh dijalankan dalam setiap tugas pengabdian. Sebab hanya dengan keterbukaan semua persoalan bisa diselesaikan secara tuntas.
“Sebagai pemimpin hendaknya kita terbuka, jika ingin didengar rakyat. Jangan pernah menyembunyikan sesuatu di hadapan mereka, karena akan jadi sandungan bagi kita,” tandasnya. ( JIP/MS )