WEWEWA BARAT, MENARASUMBA.COM – Sudah hampir tiga bulan teror hama belalang kembara menyerang lahan jagung sejumlah petani di Wee Maro.
Areal pertanian yang irigasinya ditopang sebuah mata air tepat di perbatasan Desa Pero dan Desa Kabali Dana, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten SBD ini terhampar subur sepanjang musim.
Namun, belum lama ini mimpi beberapa petani menikmati panen yang sudah di depan mata harus pupus karena serbuan locusta migratoria serangga pemakan gramineae.
Lahan yang sebelumnya ditanami jagung dan kemudian ludes dilahap belalang kini disulap Andreas jadi ladang berbagai jenis sayuran. ( Foto. Menara Sumba )
Salah satunya menimpa Petrus Umbu Sogara yang berkebun tidak jauh dari sumber mata air Wee Maro yang mengaliri lahan petani di lembah subur itu.
Ia harus pasrah manakala tanaman jagung yang sudah berbuah dan tinggal menunggu masa panen, tersisa batang gundul tanpa daun.
“Kami pasrah meski sangat kecewa karena semua usaha pada akhirnya sia-sia tanpa hasil,” katanya kepada media ini, beberapa waktu lalu.
Hasil keringat setelah sekian bulan bertaruh lelah sirna dalam sekejap dilahap gerombolan belalang tak terhitung yang kala itu terbang memenuhi angkasa di dusun terpencil tersebut.
Debora Talu, istri Andreas sedang berada di mata air Wee Maro yang jadi penopang air bersih bagi sebagian warga Desa Kabali Dana, juga mengairi lahan pertanian di lokasi tersebut. ( Foto. Menara Sumba )
Pohon jagung pada lahan seluas hampir 3 hektar ini meranggas gundul, meski sudah disiasati dengan membunyikan klakson kompresor sebuah truk yang didatangkan untuk mengusir koloni belalang.
Hal serupa dialami Andreas Tanggu Solo, warga Weli Wano, Desa Kabali Dana yang juga harus mengubur harapan memanen jagung.
Namun beruntung, usaha taninya tidak semata bertopang pada tanaman jagung karena ada hamparan lahan lain yang ditanami holtikultura.
Setelah badai belalang itu berlalu, lahan jagung pun disulap jadi bedeng sayuran sehingga areal kebun yang ditanami berbagai komoditi sayur-mayur ini makin luas.
Hamparan bedeng sayuran yang menghijau di tengah areal lahan pertanian Wee Maro jadi ladang rezeki bagi Andreas Tanggu Solo dan keluarga. ( Foto. Menara Sumba )
“Saya tidak kecewa karena semua sudah terjadi, tetap semangat agar tidak terlena dengan keadaan lalu berputus asa,” ujarnya saat ditemui media ini, Rabu (30/08/2023).
Dibantu sang istri dan anak-anaknya Andreas kini tekun menambah luas areal lahan kebun tomat, cabai, terung, sawi, kacang panjang, buncis, kol, kangkung, bayam, dan brokoli.
Karena lahan tersebut berjarak kurang lebih tiga kilometer dari rumah, pria beranak enam ini terpaksa menggelar tenda dan mendirikan saung di pinggir kebun untuk tempat berteduh.
Andreas yang sebelumnya berprofesi sebagai sopir truk ini menarget produksi holtikulturanya meningkat jauh agar menghasilkan rupiah dalam jumlah banyak, untuk menalang berbagai kebutuhan hidup keluarga.
Dua buah hati Andreas, Gisel ( kiri ) dan Fitra ( kanan/tanpa baju ) bahu membahu bersama kedua orang tua mereka mengelola kebun holtikultura. ( Foto. Menara Sumba )
“Selain untuk kebutuhan keluarga sehari-hari, juga harus ada simpanan biaya sekolah anak-anak dan kebutuhan lain,” ungkapnya.
Dengan target itu, konsekuensinya harus giat sepanjang siang bahkan hingga malam hari berpacu dengan waktu untuk sukseskan rencana berkebun yang telah matang.
Sudah hampir tiga bulan pula ia bersama istri dan anak-anak jarang pulang rumah. Menginap di lokasi kebun jadi pilihan demi target besar itu.
Ia mengaku, dunia cocok tanam holtikultura yang saat ini sudah mantap hati dilakoni bermula ketika dirinya di-PHK oleh majikan saat wabah COVID-19 mengganas.
Sumber rezeki bagi keluarga yang didapatnya dari menyetir kendaraan proyek lepas begitu saja gara-gara dirumahkan sang majikan yang juga kehilangan order proyek.
“Saya betul-betul hilang pegangan hidup karena pekerjaan yang sudah bertahun saya tekuni harus ditinggalkan tanpa sepeser pun pesangon,” kisahnya.
Di tengah kesulitan hidup yang mengepung, ia harus memutar otak agar asap dapur tetap mengepul karena ada enam buah hati, ditambah sang istri, dan dirinya sendiri yang harus makan tiga kali sehari.
Tak sengaja ia terinspirasi siaran televisi yang sering menayangkan kabar tentang petani sayur yang tetap eksis meski di tengah badai COVID-19 sekalipun saat usaha di bidang lain sudah pada gulung tikar.
Salah satu petak lahan yang ditanami selada air menambah keanekaragaman holtikulutura di lahan ini. ( Foto. Menara Sumba )
Niat ini tidak bertepuk sebelah tangan karena Debora Talu sang istri, termasuk salah satu putranya yang masih kelas VI SD dan dua putrinya pun ikut bersemangat singsingkan lengan baju dan mati-matian membantu.
Menurut sang istri, Debora Talu, pendapatan dari bertani holtikultura terpaut amat jauh dari gaji sebagai sopir yang pas-pasan bahkan terkadang tidak cukup untuk biayai kebutuhan hidup.
“Dulu suami terima gaji sekali dalam sebulan, yang jumlahnya tidak lebih dari sejuta rupiah. Tapi sekarang paling kurang dalam seminggu ada pemasukan dari hasil holtikultura,” aku Debora.
Meski harus berpanas di terik matahari, dan terkadang bermandi embun malam ketika berburu waktu tuntaskan pekerjaan, ia bersama suami dan anak-anak begitu menikmati rutinitas baru ini.
Kini Andreas tengah menyiapkan juga lahan lain untuk ditanami buah, salah satu pilihan adalah semangka yang hasilnya kelak akan dipasok untuk memenuhi permintaan sejumlah pelanggan.
Rerimbunan pohon tomat yang sedikit lagi matang buahnya dan siap dikonversi jadi rupiah. ( Foto. Menara Sumba )
Apalagi, belum lama berselang, lahan holtikultura tersebut sempat dilawat oleh bupati SBD, dr. Kornelius Kodi Mete ketika menghadiri Expo Sayuran di Kelompok Tani Ana Leko yang berada tidak jauh dari kebun Andreas.
Orang nomor satu di negeri Loda Wee Maringi Pada Wee Malala ini menjanjikan dukungan sarana bagi kelancaran usaha holtikultura para petani di lokasi nan subur itu.
Adanya perhatian sang bupati yang meski sudah di penghujung masa jabatan ini setidaknya membawa asa baru dan kian menguatkan niat Andreas dan sejumlah petani lain di Wee Maro untuk menjadi tuan di negeri sendiri.
Kendati untuk itu tidak mudah, sebab harus mampu bersaing secara sehat dengan pemasok sayuran dan buah lain dari luar pulau, dimana senjata pamungkasnya perang harga dan kualitas.
“Kami sudah siap untuk itu dengan segala konsekuensi demi cita-cita jadi tuan di negeri sendiri, Loda Wee Maringi Pada Wee Malala tanah yang subur dan terberkati ini,” tandas Andreas menutup perbincangan. ( Julius Pira )